Thursday, 23 June 2016

Iblis Menggugat Tuhan (Berhala)

Buhairah meninggalkan Iblis dan kembali ke kota Busrah saat fajar tengah berpendar dengan lembut. Rasulullah saw menemuinya persis di gerbang kota. Buhairah membuka mulutnya untuk bicara, tapi Rasulullah saw berkata, “Jangan pedulikan dia; dia sudah didengar 700 ribu kali sejak yang pertama. Masalahnya adalah masalah Allah, bukan masalahmu, dan engkau tidak diijinkan untuk mempertanyakan-Nya. Jangan menanggung resiko kutukan yang diakibatkan oleh si Iblis sendiri, dengan bersujud kepada Iblis sebelum kepada Allah – sadar atau tidak. Ingat saja di mana posisi Iblis sebenarnya. Bahkan dengan air mata dan hati yang membara, ia mampu memenuhi janjinya pada Allah: ‘… dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.’1 Jangan mengambil jalan yang memang bukan jalanmu.
Allah Mahaperkasa. Engkau tunduk pada-Nya bahkan tanpa disadari. Tapi akan jauh lebih baik untuk tunduk dengan sedikit pemahaman daripada tanpa disadari. Penghambaan sepenuhnya pada Allah bermakna bahwa perbuatan-Nya bukanlah untuk engkau pahami. Yakinilah hal yang satu ini, niscaya engkau akan termasuk dalam golongan orang-orang yang bijak. Jika engkau berusaha untuk memahami hal lainnya tanpa mampu memahami dan meyakini yang satu ini, maka engkau tak ada bedanya dengan Iblis.
Setelah Yunus meramalkan kehancuran kota Ninawa, ia pergi meninggalkan kota itu dan mendaki bukit ke arah timur. Allah menciptakan sebuah pohon belukar baginya tak jauh dari situ.2 Di balik naungan pohon, Yunus menunggu sampai Allah menghancurkan Nainawa, seperti telah dijanjikan padanya.Tapi karena masyarakat kota itu telah bertobat dan mengindahkan wahyu yang disampaikan Yunus, Allah mengampuni kota tersebut dan memaafkan yang berdosa. Kehancuran yang dijanjikan tak jadi datang.
Yunus berkata, ‘Kuramalkan hari kehancuran bagi mereka; tapi Engkau mengampuni. Mereka telah melakukan dosa, namun Engkau tetap mengampuni mereka. Mengapa ?’
Di pagi harinya, pohon itu terbakar, dan Yunus pun gemetar melihatnya – sinar mentari menyengatnya.
Allah berfirman, ‘Kepada-Ku berpulang semua alasan, dan Aku – dalam segala hal – adalah Yang Mahaadil. Ketidaktahuanmu perihal alasan-alasan ini, tidaklah membuat-Ku menjadi tidak adil. Di tangan-Ku terletak kehancuran dan kemakmuran. Perbuatan-Ku bukan untuk dipertanyakan, perbuatan kalianlah yang patut dipertanyakan.
Tidak kuutus seorang nabi ke Nainawa, kecuali sebagai janji pembebasan bagi mereka. Murka dan ampunan, keduanya hanya menjalankan perintah-Ku.
Jika memang kehendak-bebas itu tidak ada, jika manusia tidak mampu mengubah nasib mereka, untuk apa ada janji ampunan ?3 Untuk apa Kuutus engkau kepada mereka jika takdir-Ku memang tidak bisa diubah ?4 Jika Aku harus menghancurkan yang jahat di manapun mereka berada, niscaya tak seorang pun dari kalian yang tersisa saat ini.
Ketahuilah, Kutumbuhkan semak itu sebagai tanda kasih-Ku padamu. Kuhancurkan semak yang sama sebagai pengingat bagimu, sebagaimana wahyu-Ku yang engkau sampaikan kepada rakyat Nainawa. Mereka bertobat setelah mendengar seruanmu, karena itu mereka tetap hidup. Belajarlah dari pertobatan mereka.’”
Rasulullah saw melanjutkan, “Iblis dan aku hadir sebagai bukti kekuasaan Allah atas mahluk-Nya, sekaligus juga sebagai bukti kebebasan mereka dalam memilih.
Engkau begitu mudah digelisahkan oleh kesesatan kaum Marcionites. Cermatilah klaim mereka lebih baik lagi; betapa mudahnya kesesatan mereka disingkap ! Ingatlah ketika pemuda itu berkata, ‘Ada Tuhan Bapak, dan lawannya adalah demiurge; namun Tuhan akan menang.’ Tapi menurut kaum Marcionites, Tuhan Bapak adalah ‘Prima Causa’, yang menjadi sumber dan awal segalanya. Percayalah, segala kesulitanmu tak akan pernah selesai dengan meyakini kesesatan kaum Marcionites. Engkau sendiri sebenarnya sudah memenangkan argumentasi itu tanpa engkau sadari dengan mengatakan, ‘Hanya ada satu Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya mutlak atas seluruh jagat; jika tidak Ia tak pantas menyandang nama Tuhan.’ Jawaban ini sesungguhnya menyelamatkanmu dari ketergelinciran. Ingatlah dalam hatimu ketika kaum Marcionites berkata, ‘Jika memang hanya ada satu Tuhan, dan apabila Tuhan Bapak serta Yahweh-nya bangsa Yahudi itu sebenarnya sama, maka Tuhan pasti sudah gila – atau Ia memang gila sejak awal ! Bisakah kau menjelaskan kegilaan-Nya ? Tanggalkanlah keyakinan monoteismemu; berpalinglah dari bisikan Yahweh ! Hanya dengan melakukan hal ini maka pintu kebijaksanaan dan pengetahuan suci akan terbuka bagimu. Inilah sebabnya mengapa para pendeta dan uskupmu menolak kami dan menyuruh kalian untuk tidak berbicara pada kami. Karena jika kami berhasil membuka mata kalian, siapa yang akan menghidupi mereka ? Siapa yang akan membiayai katedral mereka ? Pesta-pesta mereka ? Dan gundik-gundik mereka ? Kalian pendeta Kristen benar-benar pendeta bagi demiurge sebagaimana kaum Yahudi sebelum kalian. Kalian meracuni dunia dengan dongeng konyol yang sungguh-sungguh tidak nyata !’”
—oOo—
Si pemuda kemudian melemparkan sobekan-sobekan Taurat (Perjanjian Lama) ke dekat kaki Buhairah. Buhairah membungkuk dan mengumpulkan sobekan-sobekan tersebut, lalu mebisikkan ‘nama Allah yang tersembunyi’. Sekejap kemudian Taurat itu utuh lagi di tangan Buhairah. Si pemuda memekik, “Apa yang telah kau lakukan ?”
Buhairah berkata, “Kata-katamu tadi benar adanya.
Tidak ada pohon baik
yang menghasilkan buah jelek;
begitu pula, pohon jelek
tidak akan menghasilkan buah yang baik.
Masing-masing pohon dikenali
dari buah yang dihasilkannya.
Namun, sedemikian beranikah kau menghakimi Tuhanmu sendiri – Yang tak akan pernah bisa kau imani ataupun pahami – hanya dengan standar-standar manusiawi ? Allah bukanlah untuk dihakimi; tidak pula standar-standar manusiawi dapat diterapkan pada-Nya. Kau dilarang membunuh, tapi setiap hari ribuan nyawa tak dikenal melayang juga atas perintah-Nya. Apa dengan begitu, kau sebut Dia sebagai Pembunuh ? Ketika kau membeli emas, perlukah kau tanyakan kemasakannya – seperti saat kau membeli buah ? Inilah awal kesesatanmu: kau terapkan standar-standar ini pada Allah. Seenaknya saja kau hakimi Dia menurut ciptaan-Nya, tanpa memiliki kejujuran untuk menilai Dia menurut kuasa-Nya. Dari mana sebenarnya demiurge itu berasal ? Apakah dia tercipta dengan sendirinya ?”
Si pemuda berkata, “Dia tercipta setelah Yang Utama.”
Buhairah berkata, “Tapi bukankah kau bilang demiurge itu setara dengan Tuhan Bapak ?”
Si pemuda berkata, “Tidak ! Demiurge datang setelah Tuhan Bapak, dan karena itu berada di bawah-Nya.”
Buhairah berkata, “Jadi, Tuhan Bapak adalah Yang Mahakuasa ?”
Si pemuda menjawab, “Ya.”
Buhairah berkata, “Kalau begitu, demiurge berada di bawah kekuasaan Tuhan Bapak. Tapi keyakinanmu tetap tak menjawab pertanyaanku. Kau datang sekonyong-konyong padaku dan memuntahkan segala omong kosong yang kau anggap sebagai agama ini. Kau bilang padaku, ‘Tuhanmu Yang Esa itu mengontradiksi diri-Nya sendiri, karena Dia mengizinkan angkara murka dan kejahatan. Dengan demikian, Tuhanmu Yang Esa sebenarnya adalah dewa rendahan, karena diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakasih. Dan demiurge, dalam kontradiksinya, menciptakan kejahatan.’
Tapi kemudian, lagi-lagi dengan logikamu sendiri kau katakan bahwa Tuhan Bapak tetap bersalah atas kejahatan yang tadinya kau tujukan pada demiurge, karena demiurge itu sendiri adalah mahluk ciptaan dan berada di bawah kekuasaan Tuhan Bapak. Teologimu itu bid’ah dan amat menyesatkan. Jika kau mengklaim bahwa demiurge sang pencipta itu jahat, maka Tuhan Bapak adalah kaki-tangan kejahatan tersebut.”
Si pemuda berkata, “Tapi Tuhan Bapak tak bisa dianggap bertanggung jawab atas segala kejahatan di dunia.”
Buhairah berkata, “Yang kau bilang kejahatan itu sebenarnya tak lebih dari kebodohan dan kecacatan persepsi. Kepada-Nya-lah berpulang segala alasan, dan Dia – dalam segalanya – adalah Yang Mahaadil. Dia sama sekali tidak terikat pada ketidaktahuan dan kebodohan kita. Jika kau menerima-Nya sebagai Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, maka kau juga harus menerima bahwa perbuatan-Nya tidak untuk dinilai berdasarkan hukum-hukum penalaran umat manusia. Segalanya di jagat ini dibukakan bagi manusia sesuai dengan kapasitas pemahaman masing-masing mereka, bukan berdasarkan kebenaran-Nya. Tapi seenaknya saja kau isi ember dengan air garam dan mengatakan, ‘Lihat ! Inilah lautan !’
Kembalilah kepada kaummu. Katakan pada mereka apa yang telah kukatakan. Barangkali saja mereka mau bertobat dan beralih untuk menghamba pada Allah.”
Si pemuda (Iblis) berkata, “Kau telah ‘mengganyang’-ku dua kali, Buhairah. Tapi aku tak mungkin mengubah keyakinan kaum Marcionites; mereka justru akan menuduhku sebagai pengikut demiurge.
Bagi sebagian orang, tangan putih kebenaran tampak sebagai penyakit lepra – sama sekali bukan pembuktian. Namun bagi yang lain, tangan putih yang sama mampu menggantikan kebenaran yang diwakilinya.
Tapi janganlah kau katakan – seperti kau bilang tadi, bahwa aku ini selamanya dikutuk. Aku memang berdosa. Tapi aku memiliki harapan akan pengampunan-Nya dan tidak putus asa akan cinta-Nya. Pintu maaf-Nya tidaklah tertutup buatku, tapi tidak pula cobaan bagiku mengenal akhir. Kata-kata dan tuduhanmu adalah hal yang sangat memalukan… berkoar seperti orang-orang Israel yang telah mengatakan sebelum kau bahwa dalam segala hal tangan-tangan kekuasaan-Nya terikat. Adalah sangat konyol untuk membayangkan bahwa keadilan manusia sanggup mengatur atau memerintah-Nya. Justru sebaliknya, keadilan berada di bawah telapak kaki kekuasaan-Nya, dan hanya melalui-Nya-lah keadilan bisa dikenal dan diketahui. Dialah Sang Hakim Yang Mahaadil dari segala yang adil. Karena itu, jangan sekali-kali menghakimi tindakan-Nya menurut anggapanmu yang rapuh tentang keadilan. Tapi sebaliknya, nilailah gagasanmu tentang keadilan melalui tindakan-Nya. Hukum-Nya (sunatullah) bukanlah tuan bagi-Nya. Tidak. Hukum-Nya juga mengabdi pada-Nya dan hanya dengan mengabdi pada-Nya maka hukum itu layak dipatuhi.
Dan ingatlah kata-kataku, ‘Walaupun aku telah jatuh, aku akan bangkit kembali. Walaupun aku duduk dalam kegelapan, Allah akan menjadi Pelita bagiku.’”
—oOo—
Rasulullah saw berkata, “Sadarlah, Buhairah. Iblis masing meninggalkan sepenggal keraguan lagi di dalam dirimu. Utarakanlah keraguanmu, maka aku akan membantumu.”
Buhairah berkata, “Iblis telah berdosa kepada Allah dan dibuang dari surga karenanya. Aku tak akan lagi mempertanyakan keadilan dalam soal ini. Adam pun dibuang dari surga, tapi Allah mau memaafkan Adam sementara Iblis masih dibiarkan menanggung kutukan-Nya. Iblis menuntut bagian atas ampunan-Nya. Maukah Allah mengabulkan ?”
Rasulullah saw berkata, “Dosa kesombongan tidak serta-merta menghalangi Iblis dari hadirat-Nya. Masalahnya adalah, Iblis menyalahkan Allah atas kesombongan itu. Ingatlah ketika Musa meninggalkan kaumnya untuk berdialog dengan Allah di puncak gunung. Selama berhari-hari anak-anak Israel menantinya. Tapi rupanya kesabaran mereka memang pendek. Samiri setuju saja dengan mereka yang mengatakan, ‘Musa tidak akan kembali. Entah dia telah meninggalkan kita atau bahkan sudah mati dihukum Allah. Namun kita harus tetap mempertahankan iman kita pada-Nya Yang telah membebaskan kita dari belenggu Fir’aun.’ Dengan alasan itu, Samiri kemudian membuat sebuah berhala berwujud anak sapi, terbuat dari emas. Lalu ia berkata, ‘Lihat ! Inilah Tuhan Yang telah membebaskan kita dari belenggu Fir’aun !’ Dan berbondong-bondonglah anak-anak Israel menyembah berhala.
Sekembalinya dari puncak gunung, tentu saja Musa gusar melihat hal ini. Tapi ia tahu siapa yang bertanggung jawab dan segera pergi mencari jawaban. Ia berkata pada Harun, ‘Apa-apaan ini ? Anak sapi ini sosok berhala. Bagusnya dibakar, bukan disembah ! Mengapa kau biarkan ?’
Harun langsung berlutut dan memohon maaf tanpa mengutarakan alasan macam-macam.5
Saat Musa bertanya kepada Samiri, Samiri berbisik, ‘Ini tak seperti yang kau lihat, wahai Musa. Sepeninggalmu, aku membuat berhala itu, tapi kutebarkan tanah bekas jejakmu di atasnya. Dengan demikian, aku tetap mempertahankan imanku kepadamu dengan meninggikanmu.’
Dengan geram Musa berkata, ‘Kukutuk dan kuusir kau ! Barang siapa yang melanggar perintahku, ia bukanlah sahabatku !’
Samiri berkata, ‘Bagaimana dengan Harun ? Dia tak bisa mencegahnya ! Hukuman yang sama mestinya juga dijatuhkan baginya.’
Musa berkata, ‘Dia segera memohon maaf tanpa mengutarakan alasan macam-macam. Sedangkan kau, sudah bersalah tapi masih berani beralasan macam-macam dan menyebut dirimu beriman. Kau bukanlah sahabatku, apa pun katamu !’
Ketika Allah memberi kesempatan pada Adam untuk berdalih, Adam menolak dan hanya menunjukkan penyesalannya, sementara Iblis belum lagi bertobat. Semua yang dikatakannya (Iblis) padamu – semua hanya penyangkalan dan pelemparan kesalahan.”
Rasulullah saw kemudian berkata, “Telah kuungkapkan semua ini kepadamu sebelumnya, tapi walaupun engkau menyimak, rupanya engkau belum memahami. Iblis itu layaknya batu dalam genggaman tanganmu. Ia adalah berhala keraguan yang cenderung digandrungi umat manusia – bahkan saat mereka memasuki istana kehadiran-Nya. Terserah padamu untuk membuang atau menggenggam batu itu erat-erat. Keputusanmu akan menetukan apakah selama ini engkau beriman atau tidak.”
Catatan :
1 QS Al Hijr 39 – 40
2 “Dan kami tumbuhkan untuk dia (Yunus) sebatang pohon dari jenis labu” (QS Ash Shaaffaat 146)
3 Islam telah menegaskan prinsip keadilan, kemuliaan akal, kebebasan memilih (kehendak-bebas) pada manusia, dan hukum yang bijak (sunatullah) di alam ini, dengan tidak sedikit pun menodai keesaan-Nya, tanpa menjadikan semua itu sebagai sekutu di “kerajaan-Nya”. Islam mengakui takdir Allah tanpa harus mengubah manusia menjadi sekadar alat yang dijalankan menuju takdir Allah tersebut.
Sebagai contoh, anggaplah Anda seorang masinis kereta api listrik. Kabel listrik terbentang sepanjang jalur kereta api itu. Bilamana arus listrik tidak tersalur melalui kabel itu, maka kereta api akan terhenti. Tak diragukan lagi, Anda bebas. Anda dapat menghentikan atau menggerakkan kereta api itu kapan pun Anda inginkan, menurut kecepatan yang Anda kehendaki. Namun, walaupun Anda menikmati kebebasan itu, orang yang menyalurkan listrik pada setiap saat, dapat memaksa Anda untuk berhenti, karena seluruh kemampuan dan kekuatan Anda terletak pada arus listrik dan orang yang berwenang mengalirkannya.
Jadi, kita memang memiliki kehendak-bebas, namun pada saat yang sama kita juga berada dalam genggaman kekuasaan-Nya dan bergantung pada-Nya.
4 Masalah penentuan nasib atau qadha dan qadar, termasuk di antara masalah-masalah filosofis yang pelik dan rumit. Qadha adalah ketetapan Ilahi, sedangkan qadar adalah sebab-sebab yang diusahakan manusia yang berujung pada qadha. Singkatnya, qadar adalah penyiapan potensi, sementara qadha adalah aktualisasi. Tentu saja, kualitas aktualisasi berdasarkan potensi yang disiapkan. Istilahnya, keluaran (output) bergantung pada masukan (input).
Berbagai riwayat keagamaan dan isyarat-isyarat Al Quran berbicara tentang takdir yang definitif (tetap) dan takdir yang tidak definitif (berubah). Sebagai contoh, semua manusia ditakdirkan pasti akan mati, ini adalah takdir yang definitif, namun masalah kapan waktunya dan apa penyebab kematian itu, ini merupakan takdir yang tidak definitif. Qadha tentang waktu dan penyebabnya, tergantung sebab-sebab yang diusahakan manusia itu sendiri.
Setiap kejadian, termasuk di dalamnya perbuatan manusia, menjadi definitif (terlaksana qadha baginya) jika telah sempurna sebab-sebab dan lantaran-lantarannya. Setiap kejadian pun memperoleh bentuk dan ciri khasnya dari sebab-sebab yang mewujudkannya.
5 Nabi Harun telah berusaha mencegah kaumnya dari menyembah berhala, namun ia tidak berhasil.

Baca part berikutnya

No comments:

Post a Comment