Saturday, 11 March 2017

Sejarah dan Konsep Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab

Sejarah Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab
Prolog
Seperti yang telah diketahui pada abad 18 Masehi, dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan, baik itu dari segi kenegaraan maupun dari segi moral umat Islam pada waktu itu. Perkembangan ilmu agamapun mengalami kebekuan.Ketauhidan yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw, telah diselubungkan khurafat-khurafat dan faham kesufian.Kebanyakan dari mereka telah meninggalkan masjid-masjid dan lebih memilihi beribadah di kuburan-kuburan keramat dan mereka senang memakai azzimat guna melindungi diri.Mereka memuja para wali sebagai manusia suci dan sebagai perantara kepada Allah karena mereka sendiri menganggap Alla begitu jauh dari manusia awam.[1]
Pada abad ke 18 Masehi ini pula, kaum Muslim mengalami stagnasi pemikiran pada umumnya mereka disibukkan oleh asketisme.Dan semakin gencar selogan tertutupnya pintu ijtihad. Disamping itu, tradisi yang bersifat bid’ah dan khurafat semakin meraja lela. Dengan adanya fatwa ditutupnya pintu ijtihad ini, maka berkembanglah bid’ah dan khurafat.[2]
Melihat kondisi semacam ini ternyata menimbulkan inspirasi dan motivasi bagi Muhammad bin Abdul Wahab untuk merespon kebobrokan tersebut dengan menggagas kembali semangat rujuk pada ajaran agama Islam murni, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ahmad Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Dalam melakukan dakwahnya, selain melalui lisan dan tulisan, juga melalui sebuah gerakan yang cukup terorganisir dan sukses, baik dalam aspek keagamaan maupun politik.
  
Pembahasan
A.     Biografi
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang ulama terkenaldan tokoh besar reformasi pada masanya. Ia juga seorang teolog dan tokohpembaharu Islam terkemuka dari Arab. Muhammad bin Abdul Wahhab memilikinama lengkap Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali binMuhammad bin Rasyid bin Rasyid bin Bari bin Musyarif bin Umar bin MuanadRais bin Zhahir bin Ali Ulwi bin Wahhab. Lahir di Najed (Uyainah), 70 km disebelah barat daya  Riyadh, ibukota kerajaan Saudi Arabiapada tahun 1703 Mdan wafat pada tahun 1787 M di Uyainah Saudi Arabia. Ia berasal dari keluargayang sangat terhormat dan terpelajar. Ayahnya, Syekh Abdul Wahhab binSulaiman, mempunyai karakter yang sangat ilmiah dan bijak, mewarisi statusmulia yang disandang oleh leluhurnya, Syekh Sulaiman bin Ali, adalah seorangpemimpin ulama dan orang yang benar-benar berpengalaman dalam mengajar,menulis dan memberikan keputusan.[3]
Sejak kecil Muhammad bin Abdul Wahab dikenali sebagai orang yang serdas serta memiliki ingatan dan hafalan yang kuat. Beliau menghafal Alquran sebelum mencapai usia sepuluh tahun dan kemudian mempelajari kitab fiqh mazhab Hanbali, serta hadis dan tafsir. Abdul Al-Wahab memuji kelebihan anaknya sehingga beliau turut mengambil manfaat dari keluasan ilmunya serta melantik beliau sebagai imam kendatipun masih muda. Setelah berlalu beberapa tempo masa, Muhammad bin Abdul Wahab menunaikan ibadah haji di Mekah serta menziarahi Madinah selama dua bulan. Setelah selesai menunaikan ibadah haji beliau kembali ke Uyainah dan menyibukkan dirinya dalam menuntut ilmu dari ayahandanya yang dimana pada setiap sesi pembelajaran beliau dapat menulis sekitar 20 halaman. Diantara gurunya di Mekkah terdapat nama Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi. Semua gurunya termasuk ayah dan kakaknya adalah ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.[4]
Muhammad bin Abdul Wahab merupakan  seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang bernama Wahabi dan beliaupun pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su’udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Beliau berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni.Para pendukung gerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahab menurut mereka adalah ajaran Nabi, bukan ajaran tersendiri.Karennya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti “satu Tuhan”.
Nama Wahabi atau al-Wahabiyyah kelihatan dihubungkan kepada  nama Abdul al-Wahab yakni nama ayahanda Muhammad bin Abdul Wahab sendiri. Bagaiamanapun nama Wahabi ditolak oleh para penganut Wahabi itu sendiri dan mereka mendakwahkan diri sebagai golongan Muwahhidun karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam  serta kehidupan murni yang merujuk pada ajaran Rasulullah.

B.     Gerakan Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab.
Sejak kecil Muhammad bin Abdul Wahab memberi perhatian dalam melaksanakan amal kebaikan serta mencegah kemungkaran. Menerusi pembelajaran terhadap kitab fiqh serta hadis, beliau merasa amat berduka cita melihat tindakan bid’ah yang dilakukan oleh penduduk Uyainah.Lantas beliau beliau berusaha mengatasi amalan yang menyalahi akidah.Ketika di Basrah, al-Syeikh al-Imam (Muhammad bin Abdul Wahab) mulai melaksanakan tanggung jawab membasmi kemungkaran tanpa merasa takut melainkan hanya kepada Allah Swt. Beliau menghadapi kesukaran besar tatkala melaksanakan perkara ini sehingga terpaksa meninggalkan Basrah.[5]
Ketika di al-Zubair, al-Syeikh al-Imam pulang ke Huraimila’ untuk meneruskan aktivitas membasmi kemungkaran dan menyebarkan tauhid serta akhlak Islam.Secara realiti, Huraimila’ merupakan tempat dimana perjuangan dakwah beliau diasaskan.Beliau berhasrat agar terwujudnya sentimen pembaikan serta kasih sayang golongan badui sebagai penggantian terhadap tradisi mencuri, merompak, serta berbagai jenis aktivitas tidak bermoral lainnya.Apa yang dikehendakinya ialah pembaikan terhadap akidah golongan jahil, supaya berpegang teguh dengan akidah yang haq, menggantikan penyembahan palsu. Tindakan ini memerlukan keimanan yang ikhlas serta penuh kesungguhan.Dalam konteks ini, beliau memamerkan sikap penuh kesabaran menghadapi segala rintangan serta kesukaran dalam menyeru kepada tauhid serta meninggalkan penyembahan serta beristigoshah (memohon hajat) kepada selain Allah seperti terhadap para sahilin, kubur, dan makam.[6]
al-Syeikh al-Imam melaksanakan tanggung jawab membasmi perbuatan bid’ah kepada kubur ini secara praktikal. Dalam konteks ini golongan penguasa serta kaum kerabat beliau ada yang memamerkan sikap yang prejudis terhadap tindakannya. Namun al-Syeikh al-Imam berterusan dengan tindakannya dengan penuh kesabaran serta semangat yang tinggi sehingga tersebar seruan dakwah di Huraimla’, Uyainah, al-Dar,iyyah, Riyadh serta daerah lainnya. Hanya setelah Abdul al-Wahab meninggal dunia, seruan beliau tersebar dengan meluas.Sehingga sebagian besar penduduk Huraimila’ serta lainnya menjadi pengkut serta membantu beliau. Selain itu majelis pengajian yang diasaskannya mendapat sambutan hebat masyarakat setempat serta daerah lain dan pada saat di Huraimila’ juga al-Syeikh al-Imam menyelesaikan penulisan Kitab al-Tauhid.[7]
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa sentral dari pemikiran pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab terkait dengan pemurnian tauhid yang terjabarkan dalam persoalan bid’ah, taklid, dan ijtihad. Menurutnya pemurnian akidah merupakan pondasi yang paling vital dalam pendidikan Islam.Ia juga menegaskan bahwa pendidikan melalui teladan atau contoh merupakan metode yang sangat efektif dalam penyaluran keilmuan.
Kerangka pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab berangkat dari pemahaman ketauhidan kepada Allah Swt. Ia membagi ketauhidan menjadi dua yakni tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah.Tauhid uluhiyah adalah tauhid untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik Allah, dengan penyaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah, yang dilahirkan dengan ucapan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”.Selain itu hanya berbakti kepadanya saja.Sedangkan tauhid rububiyah artinya kepercayaan bahwa pencipa alam ini adalah Allah tetapi tidak dengan mengabdi kepada Allah.[8]
Dalam pemikiran beliau, tauhid uluhiyah inilah yang dibawa oleh para nabi dan rasul sementara tauhid rububiyah hanyalah bentuk penyelewengan pengabdian manusia kepada Allah. Dengan demikian ia berpendapat bahwa satu-satunya cara menyelamatkan manusia dari kemusyrikan dan kegelapan adalah kembali kepada kitabullah agar umat manusia kembali kepada Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri tauladan yang sangat baik bagi manusia. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan pada periode modern diantaranya :[9]
a.       Hanya Alquran dan hadis yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Ijtihad ulama bukan merupakan sumber.
b.       Taqlid kepada ulama tidak dibolehkan.
c.       Pintu Ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka.
Konsep pemikiran pembaharuan yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang tersebut di atas, masih sangat relevan pula pada kondisi pemikiran masyarakat yang hidup pada abad ini. Dengan bermunculannya berbagai macam isme-isme yang dapat dengan mudah memasuki ruang masyarakat awam dengan mengatasnamakan semangat kebersamaan serta kesejahteraan sosial. Maka sangat pantaslah jika paham-paham tersebut perlu ditinjau dari prespektif Alquran dan hadis, sebab sebagai muslim yang taat, tentu Alquran dan hadis merupakan referensi yang sangat autentik untuk kita pedomani. Dalam prespektif Nurcholis Majid (Cak Nur),bagi seorang muslim, yang sepenuhnya meyakini kebenaran Islam sebagai way of life, semua nilai dasar way of life yang menyeluruh itu tercantum dalam Kitab Suci Alquran, maka sebagai penganut Islam dengan sendirinya juga menganut cara berpikir yang Islami.[10]
Begitu pula dengan persoalan taqlid kepada ulama’.Secara umum taqlid merupakan keyakinan atau kepercayaan kepada suatu paham atau pendapat ahli hukum yang sudah-sudah tanpa mengetahui dasar atau alasannya.[11]Ini merupakan hal yang timbul dikarenakan masyarakat yang sangat fanatik dalam bermazhab dan inilah salah satu problem yang mengakibatkan peradaban Islam menjadi terbelakang. Kaum fanatik terlalu percaya diri pada tradisi keilmuan yang telah diwarisi dari ulama terdahulu dan menganggap bahwa apa yang mereka katakan akan selalu relevan sepanjang masa dan di mana saja.
Tanpa mereka sadari, justru fanatisme bermazhab itu adalah hal-hal yang sangat mengakibatkan terjadinya stagnansi pemikiran. Hal ini syarat dengan apa yang pernah dikatakan oleh salah satu Imam mazhab dalam Ahlussunna wal Jama’ah yakni Imam Ahmad bin Hanbal bahwa “ janganlah kalian bertaqlid kepadaku, Malik, Al-Syafi’I, dan Al-Tsauri, tetapi belajarlah kalian seperti kami ”.[12] Artinya apa, bahwa apapun yang dikatakan oleh para ahli hukum ataupun ulama’ janganlah mudah untuk mengikutinya apalagi kita jadikan pedoman tanpa ada pertanyaan ataupun dialog terlebih dahulu, tapi tirulah sikap para ulama’ dalam mencari dan mengkaji ilmu baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan yang lain.
Salah satu hal yang menimbulkan sikap taqlid karena adanya penuduhan bahwa  setiap ijtihad kreatif dan inovatif akan akan menodai kesakralan agama. Berdasarkan fenomena inilah seingga muncul semboyan tertutupnya pintu ijtihad yang di mana karya-karya ulama masa lampau dianggap final serta harus diamalkan begitu saja tanpa adanya kritik ataupun dialog terlebih dahulu. Sehingga sikap harus membebek terhadap para ulama tertanam dan tumbuh hingga kegenerasi sekarang. Imam Malik bin Anas secara inklusif berkata, “ Aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar, maka telitilah pendapatku, jika sesuai dengan Alquran dan sunnah maka ambillah, jika tidak sesuai maka tinggalkanlah “.[13]Perlu kiranya statement dari Imam Malik tersebut kita kontemplasikan agar sikap fanatisme dalam bermazhab dapat terkikis demi berkembangnya kembali peradaban Islam.
Ini sangat selaras pula dengan pemikiran Cak Nur bahwa perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar adalah memaksimalkan  kerja akal (rasio) untuk kebahagiaan umat manusia dank arena adanya perintah Tuhan untuk mempergunakan akal dan pikiran itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran yaitu terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya.[14]




[1]Suwitno dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung : Angkasa, 2003) h. 267-268
[2]Husni Rahiem, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam (Jakarta : Departemen Agama RI, 1986) h. 15
[3]Muhammad Bin Abdul Wahab dan Muhammad Ali Pasha (Studi Pemikiran Pembaharuan dan Pengaruhnya Terhadap Peradaban Moder)Website :www.digilib.uinsby.ac.id.
[4]Mas’ud al-Nadwi, Syeikh Muhammad bin ‘Abd. al-Wahhab : Tokoh Yang Dizalimi. Terjemahan : Mohd Amin Yaacob, Website : www.hafizfirdaus.com. h. 19
[5]Mas’ud al-Nadwi, Syeikh Muhammad bin ‘Abd. al-Wahhab : Tokoh Yang Dizalimi. Terjemahan : Mohd Amin Yaacob, Website : www.hafizfirdaus.com. h. 21
[6] Ibid. h. 22
[7] Ibid.
[8]Muhammad Bin Abdul Wahab dan Muhammad Ali Pasha (Studi Pemikiran Pembaharuan dan Pengaruhnya Terhadap Peradaban Moder)Website :www.digilib.uinsby.ac.id.
[9]Suwitno dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung : Angkasa, 2003) h. 273
[10]Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung : PT Mizan Pustaka, 2013) h. 209
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[12]Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran (Teologi Kerukunan Umat Bergama) (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2011) h. 125-126
[13] Ibid, h. 125
[14]Ibid, h. 209-210
Show comments
Hide comments

3 comments: