Sejarah Pembaharuan
Muhammad bin Abdul Wahab
B. Gerakan
Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab.
Prolog
Seperti yang telah
diketahui pada abad 18 Masehi, dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan, baik itu
dari segi kenegaraan maupun dari segi moral umat Islam pada waktu itu.
Perkembangan ilmu agamapun mengalami kebekuan.Ketauhidan yang dibawa oleh nabi
Muhammad Saw, telah diselubungkan khurafat-khurafat dan faham
kesufian.Kebanyakan dari mereka telah meninggalkan masjid-masjid dan lebih
memilihi beribadah di kuburan-kuburan keramat dan mereka senang memakai azzimat guna melindungi diri.Mereka
memuja para wali sebagai manusia suci dan sebagai perantara kepada Allah karena
mereka sendiri menganggap Alla begitu jauh dari manusia awam.[1]
Pada abad ke 18 Masehi
ini pula, kaum Muslim mengalami stagnasi pemikiran pada umumnya mereka
disibukkan oleh asketisme.Dan semakin gencar selogan tertutupnya pintu ijtihad.
Disamping itu, tradisi yang bersifat bid’ah dan khurafat semakin meraja lela.
Dengan adanya fatwa ditutupnya pintu ijtihad ini, maka berkembanglah bid’ah dan
khurafat.[2]
Melihat kondisi
semacam ini ternyata menimbulkan inspirasi dan motivasi bagi Muhammad bin Abdul
Wahab untuk merespon kebobrokan tersebut dengan menggagas kembali semangat
rujuk pada ajaran agama Islam murni, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Ahmad Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Dalam melakukan dakwahnya, selain melalui
lisan dan tulisan, juga melalui sebuah gerakan yang cukup terorganisir dan
sukses, baik dalam aspek keagamaan maupun politik.
Pembahasan
A. Biografi
Syekh Muhammad bin
Abdul Wahhab adalah seorang ulama terkenaldan tokoh besar reformasi pada
masanya. Ia juga seorang teolog dan tokohpembaharu Islam terkemuka dari Arab.
Muhammad bin Abdul Wahhab memilikinama lengkap Muhammad bin Abdul Wahhab bin
Sulaiman bin Ali binMuhammad bin Rasyid bin Rasyid bin Bari bin Musyarif bin
Umar bin MuanadRais bin Zhahir bin Ali Ulwi bin Wahhab. Lahir di Najed
(Uyainah), 70 km disebelah barat daya Riyadh, ibukota kerajaan Saudi
Arabiapada tahun 1703 Mdan wafat pada tahun 1787 M di Uyainah Saudi Arabia. Ia
berasal dari keluargayang sangat terhormat dan terpelajar. Ayahnya, Syekh Abdul
Wahhab binSulaiman, mempunyai karakter yang sangat ilmiah dan bijak, mewarisi
statusmulia yang disandang oleh leluhurnya, Syekh Sulaiman bin Ali, adalah
seorangpemimpin ulama dan orang yang benar-benar berpengalaman dalam
mengajar,menulis dan memberikan keputusan.[3]
Sejak kecil Muhammad
bin Abdul Wahab dikenali sebagai orang yang serdas serta memiliki ingatan dan
hafalan yang kuat. Beliau menghafal Alquran sebelum mencapai usia sepuluh tahun
dan kemudian mempelajari kitab fiqh mazhab Hanbali, serta hadis dan tafsir.
Abdul Al-Wahab memuji kelebihan anaknya sehingga beliau turut mengambil manfaat
dari keluasan ilmunya serta melantik beliau sebagai imam kendatipun masih muda.
Setelah berlalu beberapa tempo masa, Muhammad bin Abdul Wahab menunaikan ibadah
haji di Mekah serta menziarahi Madinah selama dua bulan. Setelah selesai
menunaikan ibadah haji beliau kembali ke Uyainah dan menyibukkan dirinya dalam
menuntut ilmu dari ayahandanya yang dimana pada setiap sesi pembelajaran beliau
dapat menulis sekitar 20 halaman. Diantara gurunya di Mekkah terdapat nama
Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi. Semua gurunya termasuk ayah dan kakaknya
adalah ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.[4]
Muhammad bin Abdul
Wahab merupakan seorang ahli teologi
agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang bernama Wahabi
dan beliaupun pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su’udiyyah yang kemudian
berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Beliau berusaha membangkitkan kembali
pergerakan perjuangan Islam secara murni.Para pendukung gerakan ini
sesungguhnya menolak disebut Wahabi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahab
menurut mereka adalah ajaran Nabi, bukan ajaran tersendiri.Karennya mereka
lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang
berarti “satu Tuhan”.
Nama Wahabi atau
al-Wahabiyyah kelihatan dihubungkan kepada
nama Abdul al-Wahab yakni nama ayahanda Muhammad bin Abdul Wahab
sendiri. Bagaiamanapun nama Wahabi ditolak oleh para penganut Wahabi itu
sendiri dan mereka mendakwahkan diri sebagai golongan Muwahhidun karena mereka
ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam serta kehidupan murni yang merujuk pada ajaran
Rasulullah.
Sejak kecil Muhammad
bin Abdul Wahab memberi perhatian dalam melaksanakan amal kebaikan serta
mencegah kemungkaran. Menerusi pembelajaran terhadap kitab fiqh serta hadis,
beliau merasa amat berduka cita melihat tindakan bid’ah yang dilakukan oleh
penduduk Uyainah.Lantas beliau beliau berusaha mengatasi amalan yang menyalahi
akidah.Ketika di Basrah, al-Syeikh al-Imam (Muhammad bin Abdul Wahab) mulai
melaksanakan tanggung jawab membasmi kemungkaran tanpa merasa takut melainkan
hanya kepada Allah Swt. Beliau menghadapi kesukaran besar tatkala melaksanakan
perkara ini sehingga terpaksa meninggalkan Basrah.[5]
Ketika di al-Zubair,
al-Syeikh al-Imam pulang ke Huraimila’ untuk meneruskan aktivitas membasmi
kemungkaran dan menyebarkan tauhid serta akhlak Islam.Secara realiti,
Huraimila’ merupakan tempat dimana perjuangan dakwah beliau diasaskan.Beliau
berhasrat agar terwujudnya sentimen pembaikan serta kasih sayang golongan badui
sebagai penggantian terhadap tradisi mencuri, merompak, serta berbagai jenis
aktivitas tidak bermoral lainnya.Apa yang dikehendakinya ialah pembaikan
terhadap akidah golongan jahil, supaya berpegang teguh dengan akidah yang haq, menggantikan penyembahan palsu.
Tindakan ini memerlukan keimanan yang ikhlas serta penuh kesungguhan.Dalam
konteks ini, beliau memamerkan sikap penuh kesabaran menghadapi segala
rintangan serta kesukaran dalam menyeru kepada tauhid serta meninggalkan
penyembahan serta beristigoshah (memohon hajat) kepada selain Allah seperti
terhadap para sahilin, kubur, dan makam.[6]
al-Syeikh al-Imam melaksanakan
tanggung jawab membasmi perbuatan bid’ah kepada kubur ini secara praktikal.
Dalam konteks ini golongan penguasa serta kaum kerabat beliau ada yang
memamerkan sikap yang prejudis terhadap tindakannya. Namun al-Syeikh al-Imam
berterusan dengan tindakannya dengan penuh kesabaran serta semangat yang tinggi
sehingga tersebar seruan dakwah di Huraimla’, Uyainah, al-Dar,iyyah, Riyadh
serta daerah lainnya. Hanya setelah Abdul al-Wahab meninggal dunia, seruan beliau
tersebar dengan meluas.Sehingga sebagian besar penduduk Huraimila’ serta
lainnya menjadi pengkut serta membantu beliau. Selain itu majelis pengajian
yang diasaskannya mendapat sambutan hebat masyarakat setempat serta daerah lain
dan pada saat di Huraimila’ juga al-Syeikh al-Imam menyelesaikan penulisan
Kitab al-Tauhid.[7]
Dari uraian diatas
dapat kita simpulkan bahwa sentral dari pemikiran pembaharuan yang dilakukan
oleh Muhammad bin Abdul Wahab terkait dengan pemurnian tauhid yang terjabarkan
dalam persoalan bid’ah, taklid, dan ijtihad. Menurutnya pemurnian akidah
merupakan pondasi yang paling vital dalam pendidikan Islam.Ia juga menegaskan
bahwa pendidikan melalui teladan atau contoh merupakan metode yang sangat
efektif dalam penyaluran keilmuan.
Kerangka pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab berangkat dari pemahaman ketauhidan kepada Allah Swt.
Ia membagi ketauhidan menjadi dua yakni tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah.Tauhid
uluhiyah adalah tauhid untuk
menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik Allah, dengan penyaksian bahwa
tidak Tuhan selain Allah, yang dilahirkan dengan ucapan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”.Selain itu hanya
berbakti kepadanya saja.Sedangkan tauhid rububiyah
artinya kepercayaan bahwa pencipa alam ini adalah Allah tetapi tidak dengan
mengabdi kepada Allah.[8]
Dalam pemikiran
beliau, tauhid uluhiyah inilah yang
dibawa oleh para nabi dan rasul sementara tauhid rububiyah hanyalah bentuk penyelewengan pengabdian manusia kepada
Allah. Dengan demikian ia berpendapat bahwa satu-satunya cara menyelamatkan
manusia dari kemusyrikan dan kegelapan adalah kembali kepada kitabullah agar
umat manusia kembali kepada Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri
tauladan yang sangat baik bagi manusia. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini
mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan pada periode modern
diantaranya :[9]
a.
Hanya
Alquran dan hadis yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Ijtihad
ulama bukan merupakan sumber.
b.
Taqlid
kepada ulama tidak dibolehkan.
c.
Pintu
Ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka.
Konsep pemikiran
pembaharuan yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang tersebut di
atas, masih sangat relevan pula pada kondisi pemikiran masyarakat yang hidup
pada abad ini. Dengan bermunculannya berbagai macam isme-isme yang dapat dengan
mudah memasuki ruang masyarakat awam dengan mengatasnamakan semangat kebersamaan
serta kesejahteraan sosial. Maka sangat pantaslah jika paham-paham tersebut
perlu ditinjau dari prespektif Alquran dan hadis, sebab sebagai muslim yang
taat, tentu Alquran dan hadis merupakan referensi yang sangat autentik untuk
kita pedomani. Dalam prespektif Nurcholis Majid (Cak Nur),bagi seorang muslim,
yang sepenuhnya meyakini kebenaran Islam sebagai way of life, semua nilai dasar way
of life yang menyeluruh itu tercantum dalam Kitab Suci Alquran, maka
sebagai penganut Islam dengan sendirinya juga menganut cara berpikir yang
Islami.[10]
Begitu pula dengan
persoalan taqlid kepada ulama’.Secara
umum taqlid merupakan keyakinan atau
kepercayaan kepada suatu paham atau pendapat ahli hukum yang sudah-sudah tanpa
mengetahui dasar atau alasannya.[11]Ini
merupakan hal yang timbul dikarenakan masyarakat yang sangat fanatik dalam
bermazhab dan inilah salah satu problem yang mengakibatkan peradaban Islam
menjadi terbelakang. Kaum fanatik terlalu percaya diri pada tradisi keilmuan
yang telah diwarisi dari ulama terdahulu dan menganggap bahwa apa yang mereka
katakan akan selalu relevan sepanjang masa dan di mana saja.
Tanpa mereka sadari,
justru fanatisme bermazhab itu adalah hal-hal yang sangat mengakibatkan
terjadinya stagnansi pemikiran. Hal ini syarat dengan apa yang pernah dikatakan
oleh salah satu Imam mazhab dalam Ahlussunna wal Jama’ah yakni Imam Ahmad bin
Hanbal bahwa “ janganlah kalian bertaqlid
kepadaku, Malik, Al-Syafi’I, dan Al-Tsauri, tetapi belajarlah kalian seperti
kami ”.[12]
Artinya apa, bahwa apapun yang dikatakan oleh para ahli hukum ataupun ulama’
janganlah mudah untuk mengikutinya apalagi kita jadikan pedoman tanpa ada
pertanyaan ataupun dialog terlebih dahulu, tapi tirulah sikap para ulama’ dalam
mencari dan mengkaji ilmu baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan yang
lain.
Salah satu hal yang
menimbulkan sikap taqlid karena
adanya penuduhan bahwa setiap ijtihad
kreatif dan inovatif akan akan menodai kesakralan agama. Berdasarkan fenomena
inilah seingga muncul semboyan tertutupnya pintu ijtihad yang di mana
karya-karya ulama masa lampau dianggap final serta harus diamalkan begitu saja
tanpa adanya kritik ataupun dialog terlebih dahulu. Sehingga sikap harus
membebek terhadap para ulama tertanam dan tumbuh hingga kegenerasi sekarang.
Imam Malik bin Anas secara inklusif berkata, “ Aku adalah manusia biasa yang
bisa salah dan benar, maka telitilah pendapatku, jika sesuai dengan Alquran dan
sunnah maka ambillah, jika tidak sesuai maka tinggalkanlah “.[13]Perlu
kiranya statement dari Imam Malik tersebut kita kontemplasikan agar sikap
fanatisme dalam bermazhab dapat terkikis demi berkembangnya kembali peradaban
Islam.
Ini sangat selaras
pula dengan pemikiran Cak Nur bahwa perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar
adalah memaksimalkan kerja akal (rasio)
untuk kebahagiaan umat manusia dank arena adanya perintah Tuhan untuk
mempergunakan akal dan pikiran itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang
menghambat perkembangan pemikiran yaitu terutama berupa pewarisan membuta
terhadap tradisi-tradisi lama yang merupakan cara berpikir dan tata kerja
generasi sebelumnya.[14]
[1]Suwitno dan
Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan (Bandung : Angkasa, 2003) h. 267-268
[3]Muhammad Bin Abdul Wahab dan Muhammad Ali Pasha
(Studi Pemikiran Pembaharuan dan Pengaruhnya Terhadap Peradaban Moder)Website :www.digilib.uinsby.ac.id.
[4]Mas’ud
al-Nadwi, Syeikh Muhammad bin ‘Abd. al-Wahhab : Tokoh Yang Dizalimi. Terjemahan : Mohd Amin Yaacob,
Website : www.hafizfirdaus.com. h. 19
[5]Mas’ud al-Nadwi, Syeikh Muhammad bin ‘Abd.
al-Wahhab : Tokoh Yang Dizalimi. Terjemahan : Mohd Amin Yaacob, Website : www.hafizfirdaus.com. h. 21
[6] Ibid. h. 22
[7] Ibid.
[8]Muhammad Bin Abdul Wahab dan Muhammad Ali Pasha
(Studi Pemikiran Pembaharuan dan Pengaruhnya Terhadap Peradaban Moder)Website :www.digilib.uinsby.ac.id.
[9]Suwitno dan
Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan (Bandung : Angkasa, 2003) h. 273
[10]Nurcholis Madjid, Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan ( Bandung : PT Mizan Pustaka, 2013) h. 209
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[12]Irwan Masduqi, Berislam Secara
Toleran (Teologi Kerukunan Umat Bergama) (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2011)
h. 125-126
[13] Ibid, h. 125
[14]Ibid, h. 209-210
Nice info gan :)
ReplyDeleteThank u gan. salam blogger :D
DeleteThank u gan. salam blogger :D
ReplyDelete