Friday, 1 April 2016

Iblis Menggugat Tuhan (Sebuah Keyakinan)

Pendeta Kristen Buhairah tinggal di Suriah, di sebuah kota bernama Busrah. Lelaki itu tak banyak dikenal orang dan jarang sekali dikunjungi. Ia adalah seorang pembaptis dan cendikiawan miskin yang pandai, yang mencukupi hidupnya hanya dari hasil mengajar.
Di kota Busrah pada waktu itu, konon sedang tumbuh sebuah komunitas Marcionites.1 Terdiri atas sekelompok penganut Nasrani bereputasi buruk yang konon ingin menyingkap tabir rahasia ajaran Kristus. Pihak Gereja pun menolak mengakui mereka sebagai umat Nasrani.
Selama bertahun-tahun kemudian, Marcionites terus dibayang-bayangi kutukan dan dituduh sebagai pelaku bid’ah. Tapi golongan ini tetap bertahan; mereka justru semangat setiap kali diberi kesempatan berdebat dengan orang Kristen – semata-mata demi peluang mendapatkan penganut baru dari mereka yang imannya lemah. Kaum Marcionites melarang pernikahan dan berketurunan. Karenanya, aliran mereka hanya bisa langgeng melalui perpindahan agama.
Suatu hari, datang seorang pelajar menemui Buhairah dan minta diberi pelajaran. Ia bahkan menawarkan sejumlah besar uang. Namun Buhairah menemukannya penuh dengan kepalsuan bid’ah dan segera merasa curiga bahwa orang ini pasti dikirim oleh kaum Marcionites.
Buhairah jelas tak mau mengajarkan apa pun. Pelajar itu berkata, “Jika aku bodoh, bagaimana bisa aku menjadi pintar kecuali jika aku diajarkan ?”
Buhairah berkata, “Ketahuilah, tak ada tabib yang bisa menyembuhkan penyakit yang membunuh dirinya sendiri. Ajaran yang kau terima selama ini amat mematikan. Kepalsuan yang telah kau tanam tak ada obatnya. Kau tahu, jika sumur sudah teracuni, orang waras tak akan minum barang seteguk pun dari situ.”
Si pelajar berkata, “Percayakah kau pada Tuhan Bapak, Tuhan Juru Selamat kita ?”
Buhairah berkata, “Tentu saja.”
Si pelajar berkata, “Begitu pun aku. Percayakah kau pada Tuhannya Musa dan Ibrahim ?”
Buhairah berkata, “Aku tak akan mengajarimu.”
Anak muda itu berkata, “Kalau begitu, biar aku yang mengajarimu. Dengarkanlah. Apa ruginya mencernaku barang sebentar ? Kau seorang cendikiawan yang pandai, pastinya tahu jika aku berbohong. Dengarlah, karena kebenaran terletak pada keseimbangan kata-kata. Tak banyak yang akan kusampaikan, tapi kau bersikap seolah-olah aku akan mengisap darahmu.”
Buhairah berkata, “Sudah kubilang, aku tak akan mengajarimu.”
Si pemuda berkata, “Ya sudah, jangan katakan apa pun kalau begitu. Tapi biarkan aku bicara; aku berjanji tak akan memancingmu.”
Kemudian pemuda itu melanjutkan, “Sesungguhnya tidak ada Tuhan Yang Maha Esa. Para pendeta Magian2 tak berbohong saat berkata, ‘Pertama, ada Ahura Mazda yang baik, sumber segala kebaikan dan kepada siapa segala kebaikan itu kembali pada akhirnya nanti. Kedua, ada Ahriman yang jahat, sumber segala kejahatan dan kepada siapa semua kejahatan akan kembali pada akhirnya nanti’. Karenanya, sungguh tak masuk akal mengatakan bahwa kejahatan memiliki akarnya pada Ahura Mazda.
Tidak ada pohon baik
yang menghasilkan buah jelek;
begitu pula, pohon jelek
tidak akan menghasilkan buah yang baik.
Masing-masing pohon dikenali
dari buah yang dihasilkannya.”
Buhairah berkata, “Kau ini Marcionit atau Zoroastrian ? Ingatkah kau bagaimana para pendeta Magian bersekongkol melawan Mani,3 bahkan di kala mereka mengimaninya ? Dan kalau Mani saja tak kuat melawan mereka yang mengimaninya dalam dualisme, bagaimana kau bisa mendebatku yang monoteis ini ?”
Si pemuda berkata, “Aku yakin menang karena tahu bahwa kau adalah orang yang percaya pada Tuhan Yang mengontradiksi diri-Nya sendiri. Intelektualitasmu sebagai seorang cendikiawan pastinya mengungguli naluri kependetaanmu. Kau tak mungkin bertahan pada apa pun yang bertentangan dengan logika. Kau benar saat menolakku, tapi ketahuilah, begitu aku selesai nanti, tak peduli apapun keputusanmu – bergabung atau menolakku, kau tak akan pernah jadi pendeta lagi.”
Buhairah berkata, “Hanya ada satu Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya mutlak atas seluruh jagat; jika tidak, Ia tak akan pantas menyandang nama Tuhan.”
Si pemuda berkata, “Begitukah ? Coba pikir, jagat ini tidak sempurna dan manusia juga tidak sempurna. Karena itu, logis kiranya jika Dia Yang menciptakan jagat dan manusia, juga tidak sempurna. Tapi Tuhanmu Yang Esa itu tak mau mengakui ketidaksempurnaan-Nya. Bisakah kau jelaskan hal ini ?
Satu hal lagi, jagat ini kejam dan manusia juga kejam. Karenanya, Sang Pencipta Jagat dan manusia juga pasti sama kejamnya. Tapi kau tetap mengukuhkan Tuhanmu sebagai Yang Mahabaik. Bagaimana kau bisa mengatakan hal ini ?
Tuhanmu itu sebenarnya demiurge,4 sang pembangun, tuhannya orang-orang Yahudi yang disebut Yahweh. Dia menciptakan dunia ini. Dan karena hatinya jahat, maka dunia yang dia ciptakan juga jahat – maka, tubuh ini adalah racun buat kita. Tuhanmu membenci kita; karena di surga kita telah melakukan segala yang dia larang dan kita memakan buah dari pohon pengetahuan. Dan saat kita mampu memisahkan kebenaran dari kepalsuan dan kebaikan dari kejahatan, kita jadi sama kuatnya dengan dia. Itulah sebabnya mengapa dia membuang kita dari surga. Dia berkata, ‘Duhai, kini manusia sudah setara dengan kita, yang telah memahami kebaikan dan kejahatan.’
Kita jadi tahu yang sebenarnya tentang demiurge; kuat, tapi tidak mahakuat. Namun bahkan setelah kita mengetahui kebenaran ini, demiurge tetap berupaya menguasai kita, layaknya kita ini benda mati saja. Sampai akhirnya Tuhan Bapak – Sumber segala kebaikan dan Tempat kembalinya segala kebaikan itu, mengutus Yesus untuk membebaskan kita dari tirani demiurge, dan membebaskan jiwa kita dari dunia yang jahat serta penjara daging yang tak berharga ini.
Tuhan Bapak tidak seperti dewamu tadi. Ia tidak takut pada kita ataupun membenci kita. Ia tak ingin menghukum atau merendahkan kita – semata melindungi kita dari malapetaka. Tuhan Bapak adalah Yang Mahakuasa, sementara demiurge itu plinplan, berwatak jahat, dan suka menghukum tanpa alasan hanya karena ingin menghukum saja. Tuhan Bapak adalah Hukum Yang Pertama; Dia adalah Cinta; Dia Sumber dan Arah Tujuan.
Dewamu adalah dewa yang menciptakan kita, namun berniat melawan-Nya; tapi pada akhirnya nanti, Tuhan Bapak-lah yang akan menang dan membebaskan kita. Nah, sekarang bagaimana bisa kau samakan Tuhan Yang Baik dan Pemaaf – Yang dipanggil Bapak oleh Yesus, dengan monster pembunuh, yang tega membunuh orang-orang tak bersalah dengan mengeraskan hati seorang raja, misalnya ?
Jika memang hanya ada satu Tuhan, dan apabila Tuhan Bapak serta Yahweh-nya bangsa Yahudi itu sebenarnya sama, maka Tuhan pasti sudah gila – atau Ia memang gila sejak awal ! Bisakah kau menjelaskan kegilaan-Nya ?
Tanggalkan keyakinan monoteismemu; berpalinglah dari bisikan Yahweh ! Hanya dengan melakukan hal ini maka pintu kebijaksanaan dan pengetahuan suci akan terbuka bagimu. Inilah sebabnya mengapa para pendeta dan uskupmu menolak kami dan menyuruh kalian untuk tidak berbicara pada kami. Karena jika kami berhasil membuka mata kalian, siapa yang akan menghidupi mereka ? Siapa yang akan membiayai katedral mereka ? Pesta-pesta mereka ? Dan gundik-gundik mereka ?
Kalian pendeta Kristen benar-benar pendeta bagi demiurge sebagaimana kaum Yahudi sebelum kalian. Kalian meracuni dunia dengan dongeng konyol yang sungguh-sungguh tidak nyata !”
Si pemuda kemudian melemparkan sobekan-sobekan Taurat (Perjanjian Lama) ke dekat kaki Buhairah.
Buhairah berpaling dari pemuda itu sambil berkata, “Kau telah mengutukku.”
Sejak saat itu, keraguan mulai mendeburi hatinya seperti ombak laut hitam. Ia menarik diri dari gereja dan memutuskan untuk menyepi. Ia tetap menerima murid, tapi menolak membicarakan keraguannya pada mereka. Ia berpikir, “Keyakinan kaum marcionites itu benar-benar ngawur !” Tapi ia juga tak pernah benar-benar bisa menyingkirkan gema kata-kata si pemuda, “Bisakah kau jelaskan kegilaan-Nya ?” ataupun mengalihkan perhatian dari banyaknya malapetaka yang terjadi di dunia – sesuatu yang mestinya juga menjadi tanggung jawab Tuhan Yang Maha Esa. Ia pernah memutuskan, “Jika keyakinan umat Kristen itu salah adanya, berarti Tuhan juga tidak ada.” Sejak imannya dirobek oleh kaum Marcionites, ia kini mulai meragukan keberadaan Tuhan.
Latar belakangnya sebagai seorang terpelajar membuatnya perlahan menggeser perhatian dan makin lama makin tenggelam dalam kajian dan riset atas buku-buku agama. Orang tak lagi melihatnya berdoa di gereja, ia selalu bersama tumpukan buku. Ia berkata, “Adakah doa yang lebih tulus bagi Tuhanku ?”
Kini Buhairah hanya memiliki keingintahuan dan ketertarikan, bukan lagi iman. Ia menenggelamkan dirinya dalam tumpukan buku tentang Kristen, tapi tetap tak menemukan iman yang ia cari. Seolah tak ada obat bagi gema beracun kata-kata si Marcionit muda waktu itu; dan makin jauh ia tenggelam dalam kesalahan, makin putus asa ia mencari pembenaran dari satu buku ke buku lain. Apa daya, kini apa pun jerat keimanan yang ditangkap oleh hatinya, selalu dimentahkan lagi oleh logikanya sendiri.
Sampai pada suatu hari, ada semacam kenyamanan yang berhasil ia temukan dalam sebuah ramalan. Ia berkata, “Jika ini benar adanya, maka selamatlah aku.”
Bertahun-tahun kemudian, saat berpuasa, ia baca lagi ramalan itu berulang-ulang. Di tengah khusyuknya bermeditasi, ia mendengar sebuah suara, “Selesailah sudah.”
Sontak ia terkejut. Rahangnya menganga dalam keterbataan. Ditutupnya kitab ramalan itu seraya menutup mata batinnya dari dunia. Berjam-jam ia berdoa, memusatkan seluruh perhatian pada Tuhan, mempersembahkan segala keraguannya di altar pengampunan-Nya. Lagi-lagi terdengar suara itu, “Selesailah sudah.”
Keesokan paginya, ia menyuruh beberapa orang muridnya ke pasar untuk membeli makanan. Katanya, ia hendak mengadakan jamuan makan. Sekembalinya mereka dari pasar, ia menyuruh mereka untuk segera menyiapkan segala sesuatunya untuk jamuan makan malam itu. Setelah itu, Buhairah kemudian berjalan sendiri ke pasar.
Di tengah jalan ia berpapasan dengan rombongan kafilah dagang dari Arab. Berbicaralah ia dengan pemimpin kafilah itu, yang bernama Abu Thalib. Ia berkata, “Dari suku manakah kalian berasal ?”
Abu Thalib berkata, “Kami dari suku Quraisy.”
Buhairah berkata, “Datanglah ke rumahku. Telah kusiapkan jamuan makan bagimu. Bawa serta seluruh anggota sukumu yang ada di Busrah, baik dewasa maupun anak-anak, budak maupun orang merdeka.”
Abu Thalib berkata, “Demi Allah, ada apa denganmu ? Kau bahkan tak mengenal siapa kami; kita tak pernah bertemu sebelumnya.”
Buhairah berkata, “Itu benar. Tapi engkau dan segenap anggota kafilahmu tetap menjadi tamu bagiku.”
Abu Thalib tidak menolak. Dia dan anggota suku Quraisy lainnya segera berkumpul, dengan hanya meninggalkan seorang anak lelaki bernama Muhammad untuk menjaga barang-barang.
Mereka makan bersama Buhairah dan dilayani oleh murid-muridnya. Buhairah memperlakukan tamu-tamunya dengan kebaikan yang tulus. Ia bicara panjang lebar dengan mereka semua, tapi tak seorang pun memiliki tanda yang ia cari. Tanda seperti digambarkan dalam kitab ramalan yang selama ini ia tekuni.
Ia berkata, “Sudah lengkapkah seluruh anggota suku Quraisy di kota Busrah ini hadir ? Masih adakah anggota kafilahmu yang tertinggal ? Semua harus datang ke rumahku.”
Salah seorang Quraisy berkata, “Demi Latta, kau benar sekali. Memang ada satu orang yang sengaja kami tinggalkan, tapi dia cuma anak-anak.”
Buhairah berkata, “Katakan padaku di mana dia, biar kujemput sendiri.”
Abu Thalib mengatakan padanya. Buhairah meninggalkan tamu-tamunya dalam layanan para muridnya dan bergegas mencari si anak. Tidak terlalu jauh, ia menemukan anak itu sedang duduk di bawah sebuah pohon besar, menjaga barang-barang kafilahnya. Buhairah menegur dengan lemah lembut sekaligus meneliti dengan cermat. Dengan segera ia menemukan tanda-tanda yang ia cari.
Ia berkata, “Semula aku tak yakin sampai akhirnya aku menemuimu sendiri.”
Muhammad tak menjawab, ia duduk dengan tenang.
Buhairah berkata, “Demi Latta dan Uzza, jawablah pertanyaanku.”
Muhammad berkata, “Jangan menyumpah dengan nama Latta dan Uzza. Mereka adalah bencana yang menodai bibirmu.”
“Kalau begitu, demi Tuhan, maukah engkau menjawab pertanyaanku ?”
Muhammad berkata, “Bertanyalah sesukamu.”
Buhairah mulai bertanya tentang nama dan keluarganya, tapi Muhammad memotongnya. Ia berkata pada Buhairah, “Bukan ini pertanyaan yang sebenarnya ingin engkau ajukan.”
Buhairah berkata, “Tunjukkanlah punggungmu sebentar saja.”
Muhammad memalingkan tubuh. Seketika itu juga Buhairah melihat tanda kenabian di antara kedua bahu si anak, persis seperti digambarkan dalam kitab ramalan ! Melihat tanda suci itu, mulutnya mendadak tak mampu berkata apa-apa lagi dan pikirannya buntu. Pandangan Buhairah menggelap dan matanya dibanjiri air mata. Di antara kedua bahu anak itu, tertulis kalimat “Tiada Tuhan selain Allah.”
Muhammad berpaling lagi menghadapnya. Saat itu Buhairah juga melihat dada si anak bertuliskan sebuah nama yang tak terkatakan berwarna merah tua. Ketika nama itu dibukakan baginya, dunia seolah tak kuat menanggung bobotnya dan bintang-bintang berpencaran tak tentu arah.
“Tuanku,” Buhairah berkata kemudian. Tubuhnya yang lemas terduduk di tanah dan ia berbicara dengan wajah menunduk, “Tiada daya yang tersisa padaku. Hatiku menjadi abu. Telah kunanti bertahun-tahun dan tak pernah sebelumnya – sampai kini, bertemu dengan orang yang akhirnya mampu menjawab pertanyaanku.”
Rasulullah saw berkata, “Ajukan pertanyaanmu.”
Buhairah berkata, “Yang Mulia, aku tak mampu memahami keesaan Tuhan. Telah kusaksikan kebaikan dan kejahatan di dunia ini dan percaya bahwasanya Dia bukanlah Sumber kejahatan. Namun jika memang Dia tak berkuasa atas kejahatan, maka Dia tak pantas disebut Tuhan, padahal kutahu pula Dia adalah Yang Mahakuasa. Jika dunia ini jahat adanya, tidakkah berarti Tuhan juga demikian ? Jika dunia ini bukan ciptaan-Nya, di manakah letak kekuatan-Nya ?”
Rasulullah saw berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya keesaan Allah itu tersembunyi dari menara logikamu. Singkirkan keraguanmu. Pengetahuan tentang keesaan Allah sungguh berbahaya, dan yang mencari mudah sekali tersesat. Engkau tak mungkin sanggup menanggung beratnya pengetahuan yang engkau inginkan. Tak cukupkah engkau dengan nikmat keimanan dan kepercayaanmu pada Allah ? Hanya dengan itu pun Dia akan mencukupimu.
Engkau tak mungkin bisa meraba ujungnya, yang merupakan tujuan akhir dari semua ini. Mestikah orang yang rabun menilai bagaimana rupa puncak gunung ? Cobalah untuk menahan diri dari logika dan penilaian pribadi dalam hal ini.”
Rasulullah saw bertutur, “Dahulu kala, ada seorang ratu dari Saba’ bernama Balqis, yang menganggap dirinya sebagai yang paling bijak dan berkuasa. Tapi pada malam hari ia selalu bermpimpi tentang seorang lelaki yang menduduki tahtanya, memerintah kerajaannya dari singgasana miliknya. Wajah si lelaki begitu elok dan bersinar lembut layaknya mentari fajar. Di sekelilingnya berbaris sekalian hewan, jin dan manusia – seluruhnya menghamba pada si lelaki yang memerintah di atas singgasana yang mestinya milik sang Ratu. Balqis merasa takut pada arti yang begitu jelas terkandung dalam mimpi ini, tapi juga segan mengungkapkannya pada orang lain.
Pada suatu hari, ia mendengar kabar tentang seorang raja bangsa Israel, tentang kekayaan dan kekuasaannya. Tak lama kemudian, seekor burung bulbul menyampaikan pesan Raja Sulaiman untuknya, meminta agar sang Ratu meninggalkan pemujaannya pada matahari dan berserah diri kepada Allah.
Dengan niat mengulur waktu, sang Ratu mengirimkan kafilah yang membawa aneka macam hadiah bernilai tinggi ke Israel. Tapi Raja Sulaiman memulangkan kafilah itu kembali ke Saba’ dengan sebuah pesan : ‘Engkau tak bisa membuatku lebih kaya lagi; menyerahlah padaku dan akan kubuat engkau menjadi lebih kaya. Jika engkau tidak juga meninggalkan pemujaanmu pada matahari, akan kubawa bala tentaraku untuk memerangimu dan mendesak rakyatmu sampai ke laut.”
Balqis merenungi pesan tersebut seraya berkata, ‘Tak akan kutanggalkan keyakinanku tanpa mengujimu terlebih dahulu, wahai Raja.’
Sang Ratu segera menyiapkan rombongan, mengumpulkan hadiah-hadiah yang lebih besar dan lebih berharga sebagai persembahan bagi Sulaiman, lalu berangkat ke Israel. Saat Balqis tiba di Yerusalem, Sulaiman mengutus salah seorang pelayannya yang bernama Benaiah untuk menemui sang Ratu.
Melihat lelaki utusan itu, Balqis mengira dialah sang Raja, karena ia tak pernah melihat orang setampan atau berpakaian sebaik itu dengan seorang pengawal yang juga bertubuh besar. Balqis lantas melangkah turun dari howdah5 untuk berbicara. Benaiah bertanya, ‘Mengapa anda turun dari howdah ?’
Balqis berkata, ‘Karena Anda adalah Raja Sulaiman.’
Benaiah berkata, ‘Aku hanya pelayannya.”
Demi menutupi rasa malunya, sang Ratu berkata, ‘Aku belum melihat sang singa sebelumnya, tapi cukup puas hanya dengan melihat sarangnya. Belum pernah kusaksikan ketampanan sang Raja, tapi keelokan pelayannya saja sudah cukup bagiku.’
Benaiah berkata, ‘Yang Mulia mengundang Anda ke istana agar bisa bicara secara pribadi, tapi Anda harus datang seorang diri. Dan jangan membawa apa pun milik Anda, karena itu merupakan penghinaan bagi sang Raja. Jika sampai ketahuan Anda membawa apa pun selain tubuh Anda ke istana, barang itu akan disita atas nama Raja. Sebelum memasuki istana, para dayang Raja akan meminta Anda menanggalkan pakaian dan apa pun yang Anda kenakan. Anda akan diminta untuk mandi serta meminyaki tubuh, dan mereka akan mendandani Anda dengan pantas.’
Benaiah mengantar sang Ratu sampai ke istana Sulaiman. Tempat itu bahkan jauh lebih megah dari yang ia bayangkan sebelumnya. Benaiah mohon pamit setibanya mereka di halaman depan istana.
Serombongan dayang hadir menyambut. Mereka membakar pakaian sang Ratu, lalu mendandaninya seperti yang telah dijanjikan. Namun ada satu benda yang nekat disembunyikan Balqis – sebuah berhala kecil dewa matahari berbentuk bulat dari emas. Ia menyimpannya agar terlindung dari daya-kuasa sang Raja, tersembunyi di telapak tangan kirinya.
Dayang-dayang membawa Balqis ke istana sampai ke hadapan singgasana Sulaiman. Di sekitarnya berbaris segala macam hewan, jin, dan manusia, semuanya merupakan hamba sang Raja. Teringat mimpinya, Balqis segera mengenali wajah Sulaiman sebagai ‘si perampas kekuasaan.’
Keterkejutannya membuat berhala itu terlepas dari genggaman, jatuh dan menggelinding sampai ke kaki Benaiah. Utusan tampan itu memungut dan mengamati berhala tersebut. Sulaiman berkata padanya, ‘Sudahkah engkau sampaikan bahwa ia tak semestinya membawa apa pun masuk ke rumahku ?’
Benaiah berkata, ‘Telah kuperingatkan ia persis seperti perintah Anda, Yang Mulia.’
Seketika itu juga para pengawal Raja mengamit kedua lengan sang Ratu. Sulaiman bangkit dari singgasana dan berjalan mendekat. Ia berkata, ‘Engkau telah memasuki rumahku, yang juga rumah ayahku. Engkau bawa serta berhala kecilmu sebagai pelindung. Kini engkau tahu bagaimana berhala itu mengkhianatimu. Bahkan berhala sesembahanmu pun adalah pelayan bagiku – menggiringmu dan kerajaanmu sekaligus dalam genggaman tanganku.’
Balqis berkata, ‘Aku tak akan tunduk padamu sebelum engkau mampu menjawab semua pertanyaanku. Jika engkau memang sebijaksana yang mereka katakan, engkau pasti bisa menjawabnya tanpa ragu. Jika ada satu saja dari pertanyaanku tak engkau jawab, maka engkau harus melepaskanku dan mengizinkan aku kembali ke singgasanaku.’
Sulaiman berkata, ‘Aku akan menjawab semua pertanyaanmu; tapi jika semuanya berhasil kujawab, engkau harus meninggalkan pemujaanmu pada matahari dan beralih menyembah Allah.’
Demikianlah, sang Ratu mengajukan seratus pertanyaan pada Sulaiman. Beberapa bahkan merupakan pertanyaan yang belum pernah dijawab manusia sebelumnya; tapi dengan mudah Sulaiman menjawab semua itu seolah tak lebih dari sekedar teka-teki anak-anak.
Dalam keputusasaan, sang Ratu melemparkan satu pertanyaan terakhir, yang ia tahu pasti tak akan bisa dijawab Sulaiman. Ia berkata, ‘Jelaskan padaku tentang Tuhanmu.’
Begitu gema pertanyaan itu mencapai telinga Sulaiman, ia langsung terjatuh dan pingsan. Seluruh yang ada di ruangan panik luar biasa. Balqis bergegas menuju ke sisi Sulaiman. Ia berusaha membangunkan sosok tampan yang tampak tewas itu.
Setelah beberapa saat, sang Raja tersadar kembali. Ia berkata, ‘Allah memberiku jawaban atas pertanyaanmu, tapi aku tak sanggup menanggungnya. Anggur yang ada terlalu banyak bagi tubuh ini. Tapi akan kucoba menuturkannya semampuku.’
Sang Ratu menjerit, ‘Jangan katakan ! Aku berlindung kepada Allah dari tuhanku !’ Saat itu juga ia beriman dan berserah diri kepada Allah melalui Sulaiman.
Sulaiman berkata, ‘Yang engkau lihat dalam mimpimu bukanlah aku yang merampas tahtamu, tapi anak kita yang kelak memerintah kerajaanmu setelah kita meninggal dunia.’”
Rasulullah saw melanjutkan, “Jangan tanyakan pada Tuhanmu apa yang sesungguhnya tak sanggup engkau dengar. Tak usah engkau tempuh jalan ini, karena memang bukan jalanmu.”
Buhairah berkata, “Bahkan Musa sendiri tak sanggup menahan apa yang diungkapkan oleh Khidr kepadanya, tapi tetap saja Musa berguru padanya. Aku memilih untuk lebih baik mati di jalan ini daripada harus hidup sedetik lagi dalam keraguan.”
Rasulullah saw terdiam, beliau melangkah mengikuti Buhairah ke rumahnya. Orang-orang Quraisy tampak tertidur pulas karena anggur. Buhairah membubarkan para pelayannya dan mematikan lampu-lampu, sementara Rasulullah saw makan sedikit dari apa yang memang telah disiapkan untuk beliau.
Catatan :
1 Sekte dalam Kristen yang menolak Perjanjian Lama dan sebagian Perjanjian Baru, termasuk kemanusiaan dan kematian Yesus. Mereka juga mengutuk Tuhan Perjanjian Lama. Mereka percaya pada dualisme Tuhan; Tuhan Hukum (Yang mewahyukan Perjanjian Lama) dan Tuhan Kebaikan Yang Mahaagung (Yang diperkenalkan oleh Yesus Kristus)
2 Magi adalah kasta agamawan pada zaman Persia kuno. Mereka adalah pengikut zoroaster.
3 Mani (216-276 M) dilahirkan dalam sebuah aristokrat (bangsawan) di Babilonia Selatan (sekarang Irak). Ayahnya, seorang alim, yang membesarkannya dalam lingkungan sekte baptis yang keras, kemungkinan Mandeans (aliran sufisme pra-Islam yang berkembang di selatan Baghdad, Irak). Ia mengaku mendapat “wahyu” pengangkatan dirinya sebagai nabi terakhir, penerus Zoroaster, Budha, dan Isa as. Ajarannya dinamakan Manichaisme. Dengan perlindungan Raja Persia, Shapur I (memerintah 241-272 M), ia berdakwah di seluruh penjuru negeri Persia dan mengirimkan misi misionaris ke Kekaisaran Romawi.
4 Dewa Platonis tingkat rendah yang dikatakan menciptakan dunia material.
5 Tandu berkanopi yang biasa diletakkan di atas punggung unta atau gajah.

Baca part berikutnya

No comments:

Post a Comment