Pendeta
Kristen Buhairah tinggal di Suriah, di sebuah kota bernama Busrah. Lelaki itu
tak banyak dikenal orang dan jarang sekali dikunjungi. Ia adalah seorang
pembaptis dan cendikiawan miskin yang pandai, yang mencukupi hidupnya hanya dari
hasil mengajar.
Di kota
Busrah pada waktu itu, konon sedang tumbuh sebuah komunitas Marcionites.1
Terdiri atas sekelompok penganut Nasrani bereputasi buruk yang konon ingin
menyingkap tabir rahasia ajaran Kristus. Pihak Gereja pun menolak mengakui mereka
sebagai umat Nasrani.
Selama
bertahun-tahun kemudian, Marcionites terus dibayang-bayangi kutukan dan
dituduh sebagai pelaku bid’ah. Tapi golongan ini tetap bertahan; mereka justru
semangat setiap kali diberi kesempatan berdebat dengan orang Kristen – semata-mata
demi peluang mendapatkan penganut baru dari mereka yang imannya lemah. Kaum Marcionites
melarang pernikahan dan berketurunan. Karenanya, aliran mereka hanya bisa
langgeng melalui perpindahan agama.
Suatu hari,
datang seorang pelajar menemui Buhairah dan minta diberi pelajaran. Ia bahkan
menawarkan sejumlah besar uang. Namun Buhairah menemukannya penuh dengan
kepalsuan bid’ah dan segera merasa curiga bahwa orang ini pasti dikirim oleh
kaum Marcionites.
Buhairah
jelas tak mau mengajarkan apa pun. Pelajar itu berkata, “Jika aku bodoh,
bagaimana bisa aku menjadi pintar kecuali jika aku diajarkan ?”
Buhairah
berkata, “Ketahuilah, tak ada tabib yang bisa menyembuhkan penyakit yang
membunuh dirinya sendiri. Ajaran yang kau terima selama ini amat mematikan.
Kepalsuan yang telah kau tanam tak ada obatnya. Kau tahu, jika sumur sudah
teracuni, orang waras tak akan minum barang seteguk pun dari situ.”
Si pelajar
berkata, “Percayakah kau pada Tuhan Bapak, Tuhan Juru Selamat kita ?”
Buhairah
berkata, “Tentu saja.”
Si pelajar
berkata, “Begitu pun aku. Percayakah kau pada Tuhannya Musa dan Ibrahim ?”
Buhairah
berkata, “Aku tak akan mengajarimu.”
Anak muda
itu berkata, “Kalau begitu, biar aku yang mengajarimu. Dengarkanlah. Apa
ruginya mencernaku barang sebentar ? Kau seorang cendikiawan yang pandai,
pastinya tahu jika aku berbohong. Dengarlah, karena kebenaran terletak pada
keseimbangan kata-kata. Tak banyak yang akan kusampaikan, tapi kau bersikap
seolah-olah aku akan mengisap darahmu.”
Buhairah
berkata, “Sudah kubilang, aku tak akan mengajarimu.”
Si pemuda
berkata, “Ya sudah, jangan katakan apa pun kalau begitu. Tapi biarkan aku
bicara; aku berjanji tak akan memancingmu.”
Kemudian
pemuda itu melanjutkan, “Sesungguhnya tidak ada Tuhan Yang Maha Esa. Para
pendeta Magian2 tak berbohong saat berkata, ‘Pertama, ada Ahura
Mazda yang baik, sumber segala kebaikan dan kepada siapa segala kebaikan itu
kembali pada akhirnya nanti. Kedua, ada Ahriman yang jahat, sumber segala
kejahatan dan kepada siapa semua kejahatan akan kembali pada akhirnya nanti’.
Karenanya, sungguh tak masuk akal mengatakan bahwa kejahatan memiliki akarnya
pada Ahura Mazda.
Tidak ada
pohon baik
yang
menghasilkan buah jelek;
begitu pula,
pohon jelek
tidak akan
menghasilkan buah yang baik.
Masing-masing
pohon dikenali
dari buah
yang dihasilkannya.”
Buhairah
berkata, “Kau ini Marcionit atau Zoroastrian ? Ingatkah kau bagaimana
para pendeta Magian bersekongkol melawan Mani,3 bahkan di kala
mereka mengimaninya ? Dan kalau Mani saja tak kuat melawan mereka yang
mengimaninya dalam dualisme, bagaimana kau bisa mendebatku yang monoteis ini ?”
Si pemuda
berkata, “Aku yakin menang karena tahu bahwa kau adalah orang yang percaya pada
Tuhan Yang mengontradiksi diri-Nya sendiri. Intelektualitasmu sebagai seorang cendikiawan
pastinya mengungguli naluri kependetaanmu. Kau tak mungkin bertahan pada apa
pun yang bertentangan dengan logika. Kau benar saat menolakku, tapi ketahuilah,
begitu aku selesai nanti, tak peduli apapun keputusanmu – bergabung atau
menolakku, kau tak akan pernah jadi pendeta lagi.”
Buhairah
berkata, “Hanya ada satu Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya mutlak
atas seluruh jagat; jika tidak, Ia tak akan pantas menyandang nama Tuhan.”
Si pemuda
berkata, “Begitukah ? Coba pikir, jagat ini tidak sempurna dan manusia juga
tidak sempurna. Karena itu, logis kiranya jika Dia Yang menciptakan jagat dan
manusia, juga tidak sempurna. Tapi Tuhanmu Yang Esa itu tak mau mengakui
ketidaksempurnaan-Nya. Bisakah kau jelaskan hal ini ?
Satu hal
lagi, jagat ini kejam dan manusia juga kejam. Karenanya, Sang Pencipta Jagat
dan manusia juga pasti sama kejamnya. Tapi kau tetap mengukuhkan Tuhanmu
sebagai Yang Mahabaik. Bagaimana kau bisa mengatakan hal ini ?
Tuhanmu itu
sebenarnya demiurge,4 sang pembangun, tuhannya orang-orang
Yahudi yang disebut Yahweh. Dia menciptakan dunia ini. Dan karena hatinya
jahat, maka dunia yang dia ciptakan juga jahat – maka, tubuh ini adalah racun
buat kita. Tuhanmu membenci kita; karena di surga kita telah melakukan segala
yang dia larang dan kita memakan buah dari pohon pengetahuan. Dan saat kita
mampu memisahkan kebenaran dari kepalsuan dan kebaikan dari kejahatan, kita
jadi sama kuatnya dengan dia. Itulah sebabnya mengapa dia membuang kita dari
surga. Dia berkata, ‘Duhai, kini manusia sudah setara dengan kita, yang telah
memahami kebaikan dan kejahatan.’
Kita jadi
tahu yang sebenarnya tentang demiurge; kuat, tapi tidak mahakuat. Namun
bahkan setelah kita mengetahui kebenaran ini, demiurge tetap berupaya
menguasai kita, layaknya kita ini benda mati saja. Sampai akhirnya Tuhan Bapak
– Sumber segala kebaikan dan Tempat kembalinya segala kebaikan itu, mengutus
Yesus untuk membebaskan kita dari tirani demiurge, dan membebaskan jiwa
kita dari dunia yang jahat serta penjara daging yang tak berharga ini.
Tuhan Bapak
tidak seperti dewamu tadi. Ia tidak takut pada kita ataupun membenci kita. Ia
tak ingin menghukum atau merendahkan kita – semata melindungi kita dari
malapetaka. Tuhan Bapak adalah Yang Mahakuasa, sementara demiurge itu
plinplan, berwatak jahat, dan suka menghukum tanpa alasan hanya karena ingin
menghukum saja. Tuhan Bapak adalah Hukum Yang Pertama; Dia adalah Cinta; Dia
Sumber dan Arah Tujuan.
Dewamu
adalah dewa yang menciptakan kita, namun berniat melawan-Nya; tapi pada
akhirnya nanti, Tuhan Bapak-lah yang akan menang dan membebaskan kita. Nah,
sekarang bagaimana bisa kau samakan Tuhan Yang Baik dan Pemaaf – Yang dipanggil
Bapak oleh Yesus, dengan monster pembunuh, yang tega membunuh orang-orang tak
bersalah dengan mengeraskan hati seorang raja, misalnya ?
Jika memang
hanya ada satu Tuhan, dan apabila Tuhan Bapak serta Yahweh-nya bangsa Yahudi
itu sebenarnya sama, maka Tuhan pasti sudah gila – atau Ia memang gila sejak
awal ! Bisakah kau menjelaskan kegilaan-Nya ?
Tanggalkan
keyakinan monoteismemu; berpalinglah dari bisikan Yahweh ! Hanya dengan
melakukan hal ini maka pintu kebijaksanaan dan pengetahuan suci akan terbuka
bagimu. Inilah sebabnya mengapa para pendeta dan uskupmu menolak kami dan
menyuruh kalian untuk tidak berbicara pada kami. Karena jika kami berhasil
membuka mata kalian, siapa yang akan menghidupi mereka ? Siapa yang akan
membiayai katedral mereka ? Pesta-pesta mereka ? Dan gundik-gundik mereka ?
Kalian
pendeta Kristen benar-benar pendeta bagi demiurge sebagaimana kaum
Yahudi sebelum kalian. Kalian meracuni dunia dengan dongeng konyol yang
sungguh-sungguh tidak nyata !”
Si pemuda
kemudian melemparkan sobekan-sobekan Taurat (Perjanjian Lama) ke dekat kaki
Buhairah.
Buhairah
berpaling dari pemuda itu sambil berkata, “Kau telah mengutukku.”
Sejak saat
itu, keraguan mulai mendeburi hatinya seperti ombak laut hitam. Ia menarik diri
dari gereja dan memutuskan untuk menyepi. Ia tetap menerima murid, tapi menolak
membicarakan keraguannya pada mereka. Ia berpikir, “Keyakinan kaum marcionites
itu benar-benar ngawur !” Tapi ia juga tak pernah benar-benar bisa
menyingkirkan gema kata-kata si pemuda, “Bisakah kau jelaskan kegilaan-Nya ?”
ataupun mengalihkan perhatian dari banyaknya malapetaka yang terjadi di dunia –
sesuatu yang mestinya juga menjadi tanggung jawab Tuhan Yang Maha Esa. Ia
pernah memutuskan, “Jika keyakinan umat Kristen itu salah adanya, berarti Tuhan
juga tidak ada.” Sejak imannya dirobek oleh kaum Marcionites, ia kini
mulai meragukan keberadaan Tuhan.
Latar
belakangnya sebagai seorang terpelajar membuatnya perlahan menggeser perhatian
dan makin lama makin tenggelam dalam kajian dan riset atas buku-buku agama.
Orang tak lagi melihatnya berdoa di gereja, ia selalu bersama tumpukan buku. Ia
berkata, “Adakah doa yang lebih tulus bagi Tuhanku ?”
Kini
Buhairah hanya memiliki keingintahuan dan ketertarikan, bukan lagi iman. Ia
menenggelamkan dirinya dalam tumpukan buku tentang Kristen, tapi tetap tak
menemukan iman yang ia cari. Seolah tak ada obat bagi gema beracun kata-kata si
Marcionit muda waktu itu; dan makin jauh ia tenggelam dalam kesalahan,
makin putus asa ia mencari pembenaran dari satu buku ke buku lain. Apa daya,
kini apa pun jerat keimanan yang ditangkap oleh hatinya, selalu dimentahkan
lagi oleh logikanya sendiri.
Sampai pada
suatu hari, ada semacam kenyamanan yang berhasil ia temukan dalam sebuah
ramalan. Ia berkata, “Jika ini benar adanya, maka selamatlah aku.”
Bertahun-tahun
kemudian, saat berpuasa, ia baca lagi ramalan itu berulang-ulang. Di tengah
khusyuknya bermeditasi, ia mendengar sebuah suara, “Selesailah sudah.”
Sontak ia
terkejut. Rahangnya menganga dalam keterbataan. Ditutupnya kitab ramalan itu
seraya menutup mata batinnya dari dunia. Berjam-jam ia berdoa, memusatkan seluruh
perhatian pada Tuhan, mempersembahkan segala keraguannya di altar
pengampunan-Nya. Lagi-lagi terdengar suara itu, “Selesailah sudah.”
Keesokan
paginya, ia menyuruh beberapa orang muridnya ke pasar untuk membeli makanan.
Katanya, ia hendak mengadakan jamuan makan. Sekembalinya mereka dari pasar, ia
menyuruh mereka untuk segera menyiapkan segala sesuatunya untuk jamuan makan
malam itu. Setelah itu, Buhairah kemudian berjalan sendiri ke pasar.
Di tengah
jalan ia berpapasan dengan rombongan kafilah dagang dari Arab. Berbicaralah ia
dengan pemimpin kafilah itu, yang bernama Abu Thalib. Ia berkata, “Dari suku
manakah kalian berasal ?”
Abu Thalib
berkata, “Kami dari suku Quraisy.”
Buhairah
berkata, “Datanglah ke rumahku. Telah kusiapkan jamuan makan bagimu. Bawa serta
seluruh anggota sukumu yang ada di Busrah, baik dewasa maupun anak-anak, budak
maupun orang merdeka.”
Abu Thalib
berkata, “Demi Allah, ada apa denganmu ? Kau bahkan tak mengenal siapa kami;
kita tak pernah bertemu sebelumnya.”
Buhairah
berkata, “Itu benar. Tapi engkau dan segenap anggota kafilahmu tetap menjadi
tamu bagiku.”
Abu Thalib
tidak menolak. Dia dan anggota suku Quraisy lainnya segera berkumpul, dengan
hanya meninggalkan seorang anak lelaki bernama Muhammad untuk menjaga
barang-barang.
Mereka makan
bersama Buhairah dan dilayani oleh murid-muridnya. Buhairah memperlakukan
tamu-tamunya dengan kebaikan yang tulus. Ia bicara panjang lebar dengan mereka
semua, tapi tak seorang pun memiliki tanda yang ia cari. Tanda seperti
digambarkan dalam kitab ramalan yang selama ini ia tekuni.
Ia berkata,
“Sudah lengkapkah seluruh anggota suku Quraisy di kota Busrah ini hadir ? Masih
adakah anggota kafilahmu yang tertinggal ? Semua harus datang ke rumahku.”
Salah
seorang Quraisy berkata, “Demi Latta, kau benar sekali. Memang ada satu orang
yang sengaja kami tinggalkan, tapi dia cuma anak-anak.”
Buhairah
berkata, “Katakan padaku di mana dia, biar kujemput sendiri.”
Abu Thalib
mengatakan padanya. Buhairah meninggalkan tamu-tamunya dalam layanan para
muridnya dan bergegas mencari si anak. Tidak terlalu jauh, ia menemukan anak
itu sedang duduk di bawah sebuah pohon besar, menjaga barang-barang kafilahnya.
Buhairah menegur dengan lemah lembut sekaligus meneliti dengan cermat. Dengan
segera ia menemukan tanda-tanda yang ia cari.
Ia berkata,
“Semula aku tak yakin sampai akhirnya aku menemuimu sendiri.”
Muhammad tak
menjawab, ia duduk dengan tenang.
Buhairah
berkata, “Demi Latta dan Uzza, jawablah pertanyaanku.”
Muhammad
berkata, “Jangan menyumpah dengan nama Latta dan Uzza. Mereka adalah bencana
yang menodai bibirmu.”
“Kalau
begitu, demi Tuhan, maukah engkau menjawab pertanyaanku ?”
Muhammad
berkata, “Bertanyalah sesukamu.”
Buhairah
mulai bertanya tentang nama dan keluarganya, tapi Muhammad memotongnya. Ia
berkata pada Buhairah, “Bukan ini pertanyaan yang sebenarnya ingin engkau
ajukan.”
Buhairah
berkata, “Tunjukkanlah punggungmu sebentar saja.”
Muhammad
memalingkan tubuh. Seketika itu juga Buhairah melihat tanda kenabian di antara
kedua bahu si anak, persis seperti digambarkan dalam kitab ramalan ! Melihat
tanda suci itu, mulutnya mendadak tak mampu berkata apa-apa lagi dan pikirannya
buntu. Pandangan Buhairah menggelap dan matanya dibanjiri air mata. Di antara
kedua bahu anak itu, tertulis kalimat “Tiada Tuhan selain Allah.”
Muhammad
berpaling lagi menghadapnya. Saat itu Buhairah juga melihat dada si anak
bertuliskan sebuah nama yang tak terkatakan berwarna merah tua. Ketika nama itu
dibukakan baginya, dunia seolah tak kuat menanggung bobotnya dan
bintang-bintang berpencaran tak tentu arah.
“Tuanku,”
Buhairah berkata kemudian. Tubuhnya yang lemas terduduk di tanah dan ia
berbicara dengan wajah menunduk, “Tiada daya yang tersisa padaku. Hatiku
menjadi abu. Telah kunanti bertahun-tahun dan tak pernah sebelumnya – sampai
kini, bertemu dengan orang yang akhirnya mampu menjawab pertanyaanku.”
Rasulullah
saw berkata, “Ajukan pertanyaanmu.”
Buhairah
berkata, “Yang Mulia, aku tak mampu memahami keesaan Tuhan. Telah kusaksikan
kebaikan dan kejahatan di dunia ini dan percaya bahwasanya Dia bukanlah Sumber
kejahatan. Namun jika memang Dia tak berkuasa atas kejahatan, maka Dia tak
pantas disebut Tuhan, padahal kutahu pula Dia adalah Yang Mahakuasa. Jika dunia
ini jahat adanya, tidakkah berarti Tuhan juga demikian ? Jika dunia ini bukan
ciptaan-Nya, di manakah letak kekuatan-Nya ?”
Rasulullah
saw berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya keesaan Allah itu tersembunyi dari
menara logikamu. Singkirkan keraguanmu. Pengetahuan tentang keesaan Allah
sungguh berbahaya, dan yang mencari mudah sekali tersesat. Engkau tak
mungkin sanggup menanggung beratnya pengetahuan yang engkau inginkan. Tak
cukupkah engkau dengan nikmat keimanan dan kepercayaanmu pada Allah ? Hanya
dengan itu pun Dia akan mencukupimu.
Engkau tak
mungkin bisa meraba ujungnya, yang merupakan tujuan akhir dari semua ini.
Mestikah orang yang rabun menilai bagaimana rupa puncak gunung ? Cobalah untuk
menahan diri dari logika dan penilaian pribadi dalam hal ini.”
Rasulullah
saw bertutur, “Dahulu kala, ada seorang ratu dari Saba’ bernama Balqis, yang
menganggap dirinya sebagai yang paling bijak dan berkuasa. Tapi pada malam hari
ia selalu bermpimpi tentang seorang lelaki yang menduduki tahtanya, memerintah
kerajaannya dari singgasana miliknya. Wajah si lelaki begitu elok dan bersinar
lembut layaknya mentari fajar. Di sekelilingnya berbaris sekalian hewan, jin
dan manusia – seluruhnya menghamba pada si lelaki yang memerintah di atas
singgasana yang mestinya milik sang Ratu. Balqis merasa takut pada arti yang
begitu jelas terkandung dalam mimpi ini, tapi juga segan mengungkapkannya pada
orang lain.
Pada suatu
hari, ia mendengar kabar tentang seorang raja bangsa Israel, tentang kekayaan
dan kekuasaannya. Tak lama kemudian, seekor burung bulbul menyampaikan pesan
Raja Sulaiman untuknya, meminta agar sang Ratu meninggalkan pemujaannya pada
matahari dan berserah diri kepada Allah.
Dengan niat
mengulur waktu, sang Ratu mengirimkan kafilah yang membawa aneka macam hadiah
bernilai tinggi ke Israel. Tapi Raja Sulaiman memulangkan kafilah itu kembali
ke Saba’ dengan sebuah pesan : ‘Engkau tak bisa membuatku lebih kaya lagi;
menyerahlah padaku dan akan kubuat engkau menjadi lebih kaya. Jika engkau tidak
juga meninggalkan pemujaanmu pada matahari, akan kubawa bala tentaraku untuk
memerangimu dan mendesak rakyatmu sampai ke laut.”
Balqis
merenungi pesan tersebut seraya berkata, ‘Tak akan kutanggalkan keyakinanku
tanpa mengujimu terlebih dahulu, wahai Raja.’
Sang Ratu
segera menyiapkan rombongan, mengumpulkan hadiah-hadiah yang lebih besar dan
lebih berharga sebagai persembahan bagi Sulaiman, lalu berangkat ke Israel.
Saat Balqis tiba di Yerusalem, Sulaiman mengutus salah seorang pelayannya yang
bernama Benaiah untuk menemui sang Ratu.
Melihat
lelaki utusan itu, Balqis mengira dialah sang Raja, karena ia tak pernah
melihat orang setampan atau berpakaian sebaik itu dengan seorang pengawal yang
juga bertubuh besar. Balqis lantas melangkah turun dari howdah5
untuk berbicara. Benaiah bertanya, ‘Mengapa anda turun dari howdah ?’
Balqis
berkata, ‘Karena Anda adalah Raja Sulaiman.’
Benaiah
berkata, ‘Aku hanya pelayannya.”
Demi
menutupi rasa malunya, sang Ratu berkata, ‘Aku belum melihat sang singa
sebelumnya, tapi cukup puas hanya dengan melihat sarangnya. Belum pernah
kusaksikan ketampanan sang Raja, tapi keelokan pelayannya saja sudah cukup
bagiku.’
Benaiah
berkata, ‘Yang Mulia mengundang Anda ke istana agar bisa bicara secara pribadi,
tapi Anda harus datang seorang diri. Dan jangan membawa apa pun milik Anda,
karena itu merupakan penghinaan bagi sang Raja. Jika sampai ketahuan Anda
membawa apa pun selain tubuh Anda ke istana, barang itu akan disita atas nama
Raja. Sebelum memasuki istana, para dayang Raja akan meminta Anda menanggalkan
pakaian dan apa pun yang Anda kenakan. Anda akan diminta untuk mandi serta meminyaki
tubuh, dan mereka akan mendandani Anda dengan pantas.’
Benaiah
mengantar sang Ratu sampai ke istana Sulaiman. Tempat itu bahkan jauh lebih
megah dari yang ia bayangkan sebelumnya. Benaiah mohon pamit setibanya mereka
di halaman depan istana.
Serombongan
dayang hadir menyambut. Mereka membakar pakaian sang Ratu, lalu mendandaninya
seperti yang telah dijanjikan. Namun ada satu benda yang nekat disembunyikan
Balqis – sebuah berhala kecil dewa matahari berbentuk bulat dari emas. Ia
menyimpannya agar terlindung dari daya-kuasa sang Raja, tersembunyi di telapak
tangan kirinya.
Dayang-dayang
membawa Balqis ke istana sampai ke hadapan singgasana Sulaiman. Di sekitarnya
berbaris segala macam hewan, jin, dan manusia, semuanya merupakan hamba sang
Raja. Teringat mimpinya, Balqis segera mengenali wajah Sulaiman sebagai ‘si
perampas kekuasaan.’
Keterkejutannya
membuat berhala itu terlepas dari genggaman, jatuh dan menggelinding sampai ke
kaki Benaiah. Utusan tampan itu memungut dan mengamati berhala tersebut. Sulaiman
berkata padanya, ‘Sudahkah engkau sampaikan bahwa ia tak semestinya membawa apa
pun masuk ke rumahku ?’
Benaiah
berkata, ‘Telah kuperingatkan ia persis seperti perintah Anda, Yang Mulia.’
Seketika itu
juga para pengawal Raja mengamit kedua lengan sang Ratu. Sulaiman bangkit dari
singgasana dan berjalan mendekat. Ia berkata, ‘Engkau telah memasuki rumahku,
yang juga rumah ayahku. Engkau bawa serta berhala kecilmu sebagai pelindung.
Kini engkau tahu bagaimana berhala itu mengkhianatimu. Bahkan berhala
sesembahanmu pun adalah pelayan bagiku – menggiringmu dan kerajaanmu sekaligus
dalam genggaman tanganku.’
Balqis
berkata, ‘Aku tak akan tunduk padamu sebelum engkau mampu menjawab semua
pertanyaanku. Jika engkau memang sebijaksana yang mereka katakan, engkau pasti
bisa menjawabnya tanpa ragu. Jika ada satu saja dari pertanyaanku tak engkau
jawab, maka engkau harus melepaskanku dan mengizinkan aku kembali ke
singgasanaku.’
Sulaiman
berkata, ‘Aku akan menjawab semua pertanyaanmu; tapi jika semuanya berhasil
kujawab, engkau harus meninggalkan pemujaanmu pada matahari dan beralih
menyembah Allah.’
Demikianlah,
sang Ratu mengajukan seratus pertanyaan pada Sulaiman. Beberapa bahkan
merupakan pertanyaan yang belum pernah dijawab manusia sebelumnya; tapi dengan
mudah Sulaiman menjawab semua itu seolah tak lebih dari sekedar teka-teki
anak-anak.
Dalam
keputusasaan, sang Ratu melemparkan satu pertanyaan terakhir, yang ia tahu
pasti tak akan bisa dijawab Sulaiman. Ia berkata, ‘Jelaskan padaku tentang
Tuhanmu.’
Begitu gema
pertanyaan itu mencapai telinga Sulaiman, ia langsung terjatuh dan pingsan.
Seluruh yang ada di ruangan panik luar biasa. Balqis bergegas menuju ke sisi
Sulaiman. Ia berusaha membangunkan sosok tampan yang tampak tewas itu.
Setelah
beberapa saat, sang Raja tersadar kembali. Ia berkata, ‘Allah memberiku jawaban
atas pertanyaanmu, tapi aku tak sanggup menanggungnya. Anggur yang ada terlalu
banyak bagi tubuh ini. Tapi akan kucoba menuturkannya semampuku.’
Sang Ratu
menjerit, ‘Jangan katakan ! Aku berlindung kepada Allah dari tuhanku !’ Saat
itu juga ia beriman dan berserah diri kepada Allah melalui Sulaiman.
Sulaiman
berkata, ‘Yang engkau lihat dalam mimpimu bukanlah aku yang merampas tahtamu,
tapi anak kita yang kelak memerintah kerajaanmu setelah kita meninggal dunia.’”
Rasulullah
saw melanjutkan, “Jangan tanyakan pada Tuhanmu apa yang sesungguhnya tak
sanggup engkau dengar. Tak usah engkau tempuh jalan ini, karena memang bukan
jalanmu.”
Buhairah
berkata, “Bahkan Musa sendiri tak sanggup menahan apa yang diungkapkan oleh
Khidr kepadanya, tapi tetap saja Musa berguru padanya. Aku memilih untuk lebih
baik mati di jalan ini daripada harus hidup sedetik lagi dalam keraguan.”
Rasulullah
saw terdiam, beliau melangkah mengikuti Buhairah ke rumahnya. Orang-orang
Quraisy tampak tertidur pulas karena anggur. Buhairah membubarkan para
pelayannya dan mematikan lampu-lampu, sementara Rasulullah saw makan sedikit
dari apa yang memang telah disiapkan untuk beliau.
Catatan :
1 Sekte dalam Kristen yang menolak
Perjanjian Lama dan sebagian Perjanjian Baru, termasuk kemanusiaan dan kematian
Yesus. Mereka juga mengutuk Tuhan Perjanjian Lama. Mereka percaya pada dualisme
Tuhan; Tuhan Hukum (Yang mewahyukan Perjanjian Lama) dan Tuhan Kebaikan Yang
Mahaagung (Yang diperkenalkan oleh Yesus Kristus)
2 Magi adalah kasta agamawan pada
zaman Persia kuno. Mereka adalah pengikut zoroaster.
3 Mani (216-276 M) dilahirkan dalam
sebuah aristokrat (bangsawan) di Babilonia Selatan (sekarang Irak). Ayahnya,
seorang alim, yang membesarkannya dalam lingkungan sekte baptis yang keras,
kemungkinan Mandeans (aliran sufisme pra-Islam yang berkembang di selatan
Baghdad, Irak). Ia mengaku mendapat “wahyu” pengangkatan dirinya sebagai nabi
terakhir, penerus Zoroaster, Budha, dan Isa as. Ajarannya dinamakan
Manichaisme. Dengan perlindungan Raja Persia, Shapur I (memerintah 241-272 M),
ia berdakwah di seluruh penjuru negeri Persia dan mengirimkan misi misionaris
ke Kekaisaran Romawi.
4 Dewa Platonis tingkat rendah yang
dikatakan menciptakan dunia material.
5 Tandu berkanopi yang biasa
diletakkan di atas punggung unta atau gajah.
Baca part berikutnya
Baca part berikutnya
No comments:
Post a Comment