Monday 11 January 2016

Biografi Singkat Syeikh Abdul Qadir Jailani

NASAB 
Sayid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Irak, pada bulan Ramadhan tahun 470 H, bertepatan dengan tahun 1077 M. Ayahnya bernama Abu Shalih, seorang yang takwa, keturunan Hadhrat Imam Hasan ra, cucu pertama Rasulullah saw. putra sulung Imam Ali ra., dan Fatimah ra., putri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah putri seorang Wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam husain ra., putra kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayiid Abdul Qadir adalah Hasani, sekaligus Huseini.

MASA  MUDA
 Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut “pengalaman-pengalaman mistik.” Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan kegairahan untuk bersama para saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghaust Al-Azam atau Wali Ghaust terbesar. Dalam terminologi kaum Sufi, seorang Ghaust menduduki jenjang rohani dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi umat manusia setelah para Nabi. Seorang Ulama besar di masa kini, telah menggolongkannya ke dalam Shiddiqin, sebagaimana sebutan Al-Qur’an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang Ibu, diantaranya, berpesan agar jangan berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut. Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok samak sekali tak memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang Ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab : “Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu, para perampok terperanjat keheranan. Merekaheran, ada manusia sejujur ini. Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun sama. Begitu jahitan pada baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh keping emas, sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia  kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama. Mendengar hal ini, menagislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kaki Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukannya. Diriwiyatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.

BELAJAR  DI BAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terrbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar Musyahadah (penyaksian langsung. Yang dimaksud adalah penyaksian akan segala akekuasaan dan keadilanAllah melalui mata hati). Ia sering berpuasa dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai orang-orang yang berpikir serba rohani, dan berintim dengan mereka. Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya. Lambat laun, wali ini menjadi pembimbing rohani Abdul Qadir. Hadhrat Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya sedemikian keras Sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon Ghauts ini menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.

LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai memantangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup, kecuali untuk mempertahankan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an Suci. Shalat sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ai shalat Subuh, tanpa berwudhu lagi, karena belum batal. Diriwayatkan pula, beliau kerap kali tamat membaca Qur’an Suci dalam satu malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri  dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.

DICOBA  IBLIS
Sesuatu peristiwa terjadi pda malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang di kenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan, secara perrlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan. Misa, tentang bagaimana Nabi Isa as., digoda oleh Iblis, yang mebawanya ke puncak bukit, dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya Nabi Isa as., untuk menyembahnya, bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pimpinan rohaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin dan hidupnya. Demikian pula, yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau : “Aku sama sekali tak menginginkan harta atau pun tahta. Aku telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan  jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku.”
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi.
Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari iblis menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi. Sang Syeikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain si iblis, karena, baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain katanya : “Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.” Enyahlah!” bentak sang Wali. “Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allah-lah aku selamat dari perangkapmu.”
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syeikh sedang berada di rimba belantara, tanpa makanan dan minuan, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syeikh meredakan dahaganya dengannya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru : “Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram.” Sang Syeikh berucap : “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Sosok itu pun segera berubah menjadi awan, dan terdengar berkata : “Dengan ilmumu dan rahmat Allah, sengkau selamat dari tipuanku.” Lalu sisetan bertanya tentang kesigapan san Syeikh dalam mengenalinya. Sang syeikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah.
Kisah ini mirip dengan kisah Petrus. Bila Petrus, murid besar Isa, yang tertipu Iblis, membatalkan hukum tentang makanan yang diharamkan, mencampakkan kata-kata jelas Kitab Suci dan praktek hidup gurunya, maka putra pemberani ini, dari Nabi berbangsa Arab, mencabik-cabik perangkap iblis dengan mudah dan kukuh.
Kurasa, kedua versi kisah ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggan akan ilmu. Yang lain dikatkan dengan pejuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya. Kesadaran akan kekuatan, dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang Salik. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia.

PANUTAN MASYARAKAT
Kini sang Syeikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal daru ruhaninya.
Kala ia memperolhe ilham, sebagaimana sang Syeikh sendiri ingin menyampaikannya, keyakinan Ilsmai melemah. Sebagian Muslim terlena dalam pemuasan jasmani, sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentangmasalah ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Bagdad, yang di situ seorang kurus-kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya. Ketika sang Syeikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan tegap dan secara menakjubkan, tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syeikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata : :Akulag agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku kembali melalui bantuanmu.”
Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat yang tercerahkan, menamainya Muhyiddin, “Pembangkit keimanan”, gelar yang kemudian dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan kesendiriannya (Uzlah), ia tak jua berkhotbah di depan umum. Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudu kota, dan meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah ruhaninya.
Pada akhir masa kini, ia mulai mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Pada tahun ini ia diberi sebuah madrasah, untuk mengajar. Ia persiapkan dirinya bagi tugas ini, dan baginya, hal ini merupakan dorongan lubuk hatinya. Mula-mula, muridnya amat sedikit, tetapi kemasyhurannya akan ilmu, kesalehan, keteguhan, ketulusan dan ketaatan kepda Syari’at, segera tersiar luas, dan orang-orang dari segenap penjuru dunia, mulai berdatangan kepadanya, untuk memetik manfaat dari kuliah-kuliah dan khutbah-khutbahnya, yang meliputi banyak aspek kehidupan. Lambat laun, bangunan madrasah menjadi terlalu kecil bagi sisiwa yang jumlahnya kian membengkak. Dan pada tahun 528 H, bangunan-bangunan tambahan didirikan, untuk memperluas daya tampung gedung. Bhakan ini pun dianggap tak memadai bagi yang hendak belajar. Utuk itu, ia tampil pada tiap Rabu pagi, di Idgah kecil, dan melayani masyarakat dari sebuah mimbar, yang didirikan bagi tujuan ini. Ketika ternyata hal ini tak memadai, maka ia pun bertabligh dari Idqah yang lebih besar, yang berada di luar kota, yang di dalamnya lalu dinganun baginya, semacam bangunan suci, yang dikenal sebagai Musafirkhana (Wisma tamu).
Ia biasa berkhutbah tiga kali seminggu, di Idqah, pada Jum’at pagi, di madrasah pada Selasa malam, dan di Musafirkhana, pada rabu Pagi. Berbagai orang menghadirinya, untuk mempelajari berbagai masalah. Ada Sufi, Faqih (Ahli hukum Islam), hartawan, dan sastrawan. Bahkan orang-orang non Muslim pun menghadiri ceramah-ceramahnya, dan di situ banyak dari mereka memeluk Islam. Pendosa-pendosa Muslim segera mengubah jalan hidup mereka, manakala mendengarkan wacana-wacananya --  hal ini dikarenakan kekuatan ruhaniahnya, yang berada di balik Khutbah-khutbahnya. Kehebatan ruhaniahnya sedemikian besar, sehingga ia disegani oleh orang-orang besar.
Ternyata, pribadi-pribadi spiritual ini, tak berkehendak semaunya. Mereka pasrah segenap kemaujudan mereka kepada Sang Pencipta, dan berlaku dengan bimbingan langsung dari Allah. Oleh karena itu, pengajuan umum mereka, sama sekali bukanlah tinndakan mereka sendir, dan bukan didukung oelh sesuatu persiapan manusiawi. Persiapan mereka dilakukan oleh Allah sendiri, begitu pula, keseluruhan ilham bagi pengajian umum mereka. Bila mereka berbicara, maka pembicaraan mereka berasal dari semangat suci Tuhan. Itulah sebabnya ucapan-ucapan mereka berdaya mukjizat dan revolusioner.

KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai Tahun 521 H, yakni pada usia kelimma puluh satu, ia tak pernah berpikir tentag perkawinan. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat ypaya ruhaniahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita,s emuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri.
Empat putranya termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya :
Satu (1) Syeikh Abdul Wahab, putra tertua,a dalah seorang alim besar, dan mengelola madrassah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah Syari’at Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
Dua (2) Syeikh Isa. Ia adalah seorang guru hadis dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Tiga (3) Syeikh Abdur Razaq. Ia adalag seorang alim, sekaligus penghafal hadis. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal takwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebgaimana ayahnya.
Empat (4) Syeikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hidrah ke Damaskus, hingga wafat.

Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syeikh Isa. Namanya termaktub pada mukadimah buku ini. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syeikh Abdul Wahab. Syeikh Musa termaktub pada akhir buku ini, pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan kedelapan puluh. Pada dua wacana terakhir ini disebutkan pembuatnya adalah Syeikh Abdul Razaq dan Syeikh Abdul Aziz, dua pytra sang wali, dengan di imlakkan oleh sang wali, pada saat-saat terakhirnya.

KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan sang wali bertabligh tiga kali seminggu. Di samping bertabligh, setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Qur’an, Hadits, Ushul Fiqh, dan mata pelajaran lain, yang berkaitan. Sesudah shalat zhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum shalat maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah Shalat Maghrib ia selalu makan malam, karena ia berpusa sepanjang tahun. Sebelum berbuka, ia menyilahkan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah shalat Isya’ sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah --- suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi umat manusia, dan sebagian besar waktu malam, dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.

WAFATNYA
Ia wafat pada 11 Rabi’ul Akhir 561 H (1166 M), pada usia 91 tahun. Tanggal ini diperingati oleh para pengagumnya sampai kini, dan anak benua India (Pakistan), dikenal sebagai Giarwin Syarif.

PENINGGALANNYA
Sepeninggal sang wali, para putra dan muridnya mendirikan suatu Thariqah, untuk menyuburkan spiritualitas Islami dan jaran-ajaran Islami di kalangan umat dunia, yakni Thariqah Qadiriyyah, yang sampai kini, terkenal taat kepada prinsip-prinsip Syari’at. Thariqah ini telah sedemikian berjasa bagi kebangkitan kembali ‘dunia Islam’, dan sumbangannya kepada Tasawuf tak terhingga. Tiga di antara catatan-catatan nasihat dan pengajarannya mencapai reputasi dunia. Yang paling luar biasa adalah “Futuh al-Gayb”, yang terjemahannya disajikan berikut ini.
Selain itu, Fath al-Rabbani, kumpulan enam puluh delapan khutbah, yang disampaikan antara tahun 545 H dan 546 H.
Yang ketiga adalah sebuah Qasidah, sebuah syair yang memaparkan peranan dan peringkat wali, dalam bahasa ekstatik. Syair ini disebut Qasidah al-Ghautsiyya.
Sebagaimana thariqah lain, Thariqah Qadiriyyah dewasa ini, tampak lebih cenderung kepada risalah terakhir ini, daripada karya-karya lainnya, yang memuat nasihat-nasihat tentang pengembangan diri, dan sebuah pesan dari alam gaib.
Terlepas dari kekeliruan-kekeliruan para pengagumnya dewasa ini, pengaruh sang wali dalam sejarah Islami, luar biasa. Kepribadiannya gemerlapan, laksana zamrud berkilauan dari spiritualitas Islami dewasa ini, sebagaimana pada sejarah masa lalu.

Referensi : Syeikh Abdul Qadir Jailani, Futuh Al-Ghayb, penerjemah Syamsu Basarudin dan Ilyas Hasan. Bandung : Mizan, 1995

No comments:

Post a Comment