NASAB
Sayid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Irak, pada bulan Ramadhan tahun 470 H, bertepatan dengan tahun 1077 M. Ayahnya bernama Abu Shalih, seorang yang takwa, keturunan Hadhrat Imam Hasan ra, cucu pertama Rasulullah saw. putra sulung Imam Ali ra., dan Fatimah ra., putri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah putri seorang Wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam husain ra., putra kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayiid Abdul Qadir adalah Hasani, sekaligus Huseini.
MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut “pengalaman-pengalaman mistik.” Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan kegairahan untuk bersama para saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghaust Al-Azam atau Wali Ghaust terbesar. Dalam terminologi kaum Sufi, seorang Ghaust menduduki jenjang rohani dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi umat manusia setelah para Nabi. Seorang Ulama besar di masa kini, telah menggolongkannya ke dalam Shiddiqin, sebagaimana sebutan Al-Qur’an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayid Abdul Qadir ke Baghdad.
Sayid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Irak, pada bulan Ramadhan tahun 470 H, bertepatan dengan tahun 1077 M. Ayahnya bernama Abu Shalih, seorang yang takwa, keturunan Hadhrat Imam Hasan ra, cucu pertama Rasulullah saw. putra sulung Imam Ali ra., dan Fatimah ra., putri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah putri seorang Wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam husain ra., putra kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayiid Abdul Qadir adalah Hasani, sekaligus Huseini.
MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut “pengalaman-pengalaman mistik.” Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan kegairahan untuk bersama para saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghaust Al-Azam atau Wali Ghaust terbesar. Dalam terminologi kaum Sufi, seorang Ghaust menduduki jenjang rohani dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi umat manusia setelah para Nabi. Seorang Ulama besar di masa kini, telah menggolongkannya ke dalam Shiddiqin, sebagaimana sebutan Al-Qur’an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan
bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda,
membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam
mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini adalah warisan
dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala
hendak berangkat, sang Ibu, diantaranya, berpesan agar jangan berdusta dalam
segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan
perampok. Kala menjarahi, para perampok samak sekali tak memperhatikannya,
karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang perampok
menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan janjinya kepada
sang Ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab : “Ya, aku punya delapan puluh
keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu, para perampok
terperanjat keheranan. Merekaheran, ada manusia sejujur ini. Mereka membawanya
kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun sama. Begitu
jahitan pada baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh keping emas,
sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan
ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak
bermakna upayanya menimba ilmu agama. Mendengar hal ini, menagislah sang kepala
perampok, jatuh terduduk di kaki Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang
pernah dilakukannya. Diriwiyatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid
pertamanya. Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak
benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat
kritis, tak mungkin baginya.
BELAJAR DI BAGHDAD
Selama
belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti
tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu
pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terrbesar di masanya.
Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri.
Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar Musyahadah
(penyaksian langsung. Yang dimaksud adalah penyaksian akan segala akekuasaan
dan keadilanAllah melalui mata hati). Ia sering berpuasa dan tak mau meminta
makanan dari seseorang, meski harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di
Baghdad, ia sering menjumpai orang-orang yang berpikir serba rohani, dan berintim
dengan mereka. Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad,
seorang penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya. Lambat laun,
wali ini menjadi pembimbing rohani Abdul Qadir. Hadhrat Hammad adalah seorang
wali yang keras, karenanya diperlakukannya sedemikian keras Sufi yang sedang
tumbuh ini. Namun calon Ghauts ini menerima semua ini sebagai koreksi bagi
kecacatan ruhaninya.
LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah
menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai memantangkan diri
dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup, kecuali untuk mempertahankan hidup.
Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an Suci. Shalat
sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ai shalat Subuh, tanpa berwudhu
lagi, karena belum batal. Diriwayatkan pula, beliau kerap kali tamat membaca
Qur’an Suci dalam satu malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya
berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan
seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya
ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari
Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri
dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima
nur yang dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.
DICOBA IBLIS
Sesuatu
peristiwa terjadi pda malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk
sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang
di kenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah
semacam itu memaparkan, secara perrlambang, suatu peristiwa alamiah dalam
kehidupan. Misa, tentang bagaimana Nabi Isa as., digoda oleh Iblis, yang
mebawanya ke puncak bukit, dan dari sana memperlihatkan kepadanya
kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya Nabi Isa as., untuk menyembahnya,
bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau,
sebagai pimpinan rohaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa
perjuangan jiwa sang pemimpin dan hidupnya. Demikian pula, yang terjadi pada
diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek
keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya
dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan
jawaban beliau : “Aku sama sekali tak menginginkan harta atau pun tahta. Aku
telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir bagi umat manusia, menyampaikan
risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di
dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika
kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku.”
Begitulah
gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi.
Berkenaan
dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Abdul Qadir Jailani. Versi pertama
mengisahkan, bahwa suatu hari iblis menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai
Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk
menghadap-Nya di langit tertinggi. Sang Syeikh segera menjawab bahwa si
pembicara tak lain si iblis, karena, baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke
dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain
katanya : “Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan
ilmumu.” Enyahlah!” bentak sang Wali. “Jangan kau goda aku, bukan karena
ilmuku, tapi karena rahmat Allah-lah aku selamat dari perangkapmu.”
Versi
kedua mengisahkan, ketika sang Syeikh sedang berada di rimba belantara, tanpa
makanan dan minuan, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan
turunlah hujan. Sang Syeikh meredakan dahaganya dengannya. Muncullah sosok
terang di cakrawala dan berseru : “Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu
segala yang haram.” Sang Syeikh berucap : “Aku berlindung kepada Allah dari
godaan setan yang terkutuk.” Sosok itu pun segera berubah menjadi awan, dan
terdengar berkata : “Dengan ilmumu dan rahmat Allah, sengkau selamat dari
tipuanku.” Lalu sisetan bertanya tentang kesigapan san Syeikh dalam
mengenalinya. Sang syeikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang
haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari
Allah.
Kisah
ini mirip dengan kisah Petrus. Bila Petrus, murid besar Isa, yang tertipu
Iblis, membatalkan hukum tentang makanan yang diharamkan, mencampakkan
kata-kata jelas Kitab Suci dan praktek hidup gurunya, maka putra pemberani ini,
dari Nabi berbangsa Arab, mencabik-cabik perangkap iblis dengan mudah dan
kukuh.
Kurasa,
kedua versi kisah ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara
perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggan
akan ilmu. Yang lain dikatkan dengan pejuangannya melawan kesulitan-kesulitan
ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya. Kesadaran
akan kekuatan, dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang
mesti enyah dari benak seorang Salik. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh
abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia.
PANUTAN MASYARAKAT
Kini
sang Syeikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau
tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal daru ruhaninya.
Kala
ia memperolhe ilham, sebagaimana sang Syeikh sendiri ingin menyampaikannya,
keyakinan Ilsmai melemah. Sebagian Muslim terlena dalam pemuasan jasmani,
sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan. Semangat
keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada
saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentangmasalah ini. Ia melihat dalam mimpi
itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Bagdad, yang di situ seorang
kurus-kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya. Ketika sang Syeikh
menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk membantunya duduk. Begitu
beliau membantunya, orang itu duduk dengan tegap dan secara menakjubkan,
tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syeikh terperanjat, orang asing itu
menentramkannya dengan kata-kata : :Akulag agama kakekmu, aku menjadi sakit dan
sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku kembali melalui bantuanmu.”
Ini
terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan menunjukkan karir
mendatang sang wali. Kemudian masyarakat yang tercerahkan, menamainya
Muhyiddin, “Pembangkit keimanan”, gelar yang kemudian dipandang sebagai bagian
dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan kesendiriannya (Uzlah),
ia tak jua berkhotbah di depan umum. Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim
di sebuah sudu kota, dan meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian
mempercerah ruhaninya.
Pada
akhir masa kini, ia mulai mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Pada tahun ini
ia diberi sebuah madrasah, untuk mengajar. Ia persiapkan dirinya bagi tugas
ini, dan baginya, hal ini merupakan dorongan lubuk hatinya. Mula-mula, muridnya
amat sedikit, tetapi kemasyhurannya akan ilmu, kesalehan, keteguhan, ketulusan
dan ketaatan kepda Syari’at, segera tersiar luas, dan orang-orang dari segenap
penjuru dunia, mulai berdatangan kepadanya, untuk memetik manfaat dari
kuliah-kuliah dan khutbah-khutbahnya, yang meliputi banyak aspek kehidupan.
Lambat laun, bangunan madrasah menjadi terlalu kecil bagi sisiwa yang jumlahnya
kian membengkak. Dan pada tahun 528 H, bangunan-bangunan tambahan didirikan,
untuk memperluas daya tampung gedung. Bhakan ini pun dianggap tak memadai bagi
yang hendak belajar. Utuk itu, ia tampil pada tiap Rabu pagi, di Idgah kecil,
dan melayani masyarakat dari sebuah mimbar, yang didirikan bagi tujuan ini.
Ketika ternyata hal ini tak memadai, maka ia pun bertabligh dari Idqah yang
lebih besar, yang berada di luar kota, yang di dalamnya lalu dinganun baginya,
semacam bangunan suci, yang dikenal sebagai Musafirkhana (Wisma tamu).
Ia
biasa berkhutbah tiga kali seminggu, di Idqah, pada Jum’at pagi, di madrasah
pada Selasa malam, dan di Musafirkhana, pada rabu Pagi. Berbagai orang
menghadirinya, untuk mempelajari berbagai masalah. Ada Sufi, Faqih (Ahli hukum
Islam), hartawan, dan sastrawan. Bahkan orang-orang non Muslim pun menghadiri
ceramah-ceramahnya, dan di situ banyak dari mereka memeluk Islam. Pendosa-pendosa
Muslim segera mengubah jalan hidup mereka, manakala mendengarkan
wacana-wacananya -- hal ini dikarenakan
kekuatan ruhaniahnya, yang berada di balik Khutbah-khutbahnya. Kehebatan
ruhaniahnya sedemikian besar, sehingga ia disegani oleh orang-orang besar.
Ternyata,
pribadi-pribadi spiritual ini, tak berkehendak semaunya. Mereka pasrah segenap
kemaujudan mereka kepada Sang Pencipta, dan berlaku dengan bimbingan langsung
dari Allah. Oleh karena itu, pengajuan umum mereka, sama sekali bukanlah
tinndakan mereka sendir, dan bukan didukung oelh sesuatu persiapan manusiawi.
Persiapan mereka dilakukan oleh Allah sendiri, begitu pula, keseluruhan ilham
bagi pengajian umum mereka. Bila mereka berbicara, maka pembicaraan mereka
berasal dari semangat suci Tuhan. Itulah sebabnya ucapan-ucapan mereka berdaya
mukjizat dan revolusioner.
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik
untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan
perkawinannya. Sampai Tahun 521 H, yakni pada usia kelimma puluh satu, ia tak
pernah berpikir tentag perkawinan. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat
ypaya ruhaniahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi
mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita,s
emuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua
puluh putra, dan yang lainnya putri.
Empat
putranya termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya :
Satu
(1) Syeikh Abdul Wahab, putra tertua,a dalah seorang alim besar, dan mengelola
madrassah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah
dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah Syari’at
Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
Dua
(2) Syeikh Isa. Ia adalah seorang guru hadis dan seorang hakim besar. Dikenal
juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga
Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Tiga
(3) Syeikh Abdur Razaq. Ia adalag seorang alim, sekaligus penghafal hadis.
Sebagaimana ayahnya, ia terkenal takwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan
spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebgaimana ayahnya.
Empat
(4) Syeikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hidrah ke Damaskus, hingga
wafat.
Tujuh
puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syeikh Isa. Namanya
termaktub pada mukadimah buku ini. Dua wacana terakhir, yang memaparkan
saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syeikh Abdul Wahab. Syeikh Musa
termaktub pada akhir buku ini, pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan
kedelapan puluh. Pada dua wacana terakhir ini disebutkan pembuatnya adalah
Syeikh Abdul Razaq dan Syeikh Abdul Aziz, dua pytra sang wali, dengan di
imlakkan oleh sang wali, pada saat-saat terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana
telah kita saksikan sang wali bertabligh tiga kali seminggu. Di samping
bertabligh, setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir
Qur’an, Hadits, Ushul Fiqh, dan mata pelajaran lain, yang berkaitan. Sesudah
shalat zhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan
kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum shalat maghrib, ia
membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah Shalat Maghrib ia selalu
makan malam, karena ia berpusa sepanjang tahun. Sebelum berbuka, ia menyilahkan
orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan
malam bersama. Sesudah shalat Isya’ sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso
di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah
kepada Allah --- suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai pengikut
sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi umat
manusia, dan sebagian besar waktu malam, dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.
WAFATNYA
Ia
wafat pada 11 Rabi’ul Akhir 561 H (1166 M), pada usia 91 tahun. Tanggal ini
diperingati oleh para pengagumnya sampai kini, dan anak benua India (Pakistan),
dikenal sebagai Giarwin Syarif.
PENINGGALANNYA
Sepeninggal
sang wali, para putra dan muridnya mendirikan suatu Thariqah, untuk menyuburkan
spiritualitas Islami dan jaran-ajaran Islami di kalangan umat dunia, yakni
Thariqah Qadiriyyah, yang sampai kini, terkenal taat kepada prinsip-prinsip
Syari’at. Thariqah ini telah sedemikian berjasa bagi kebangkitan kembali ‘dunia
Islam’, dan sumbangannya kepada Tasawuf tak terhingga. Tiga di antara
catatan-catatan nasihat dan pengajarannya mencapai reputasi dunia. Yang paling
luar biasa adalah “Futuh al-Gayb”, yang terjemahannya disajikan berikut ini.
Selain
itu, Fath al-Rabbani, kumpulan enam puluh delapan khutbah, yang disampaikan
antara tahun 545 H dan 546 H.
Yang
ketiga adalah sebuah Qasidah, sebuah syair yang memaparkan peranan dan
peringkat wali, dalam bahasa ekstatik. Syair ini disebut Qasidah al-Ghautsiyya.
Sebagaimana
thariqah lain, Thariqah Qadiriyyah dewasa ini, tampak lebih cenderung kepada
risalah terakhir ini, daripada karya-karya lainnya, yang memuat nasihat-nasihat
tentang pengembangan diri, dan sebuah pesan dari alam gaib.
Terlepas
dari kekeliruan-kekeliruan para pengagumnya dewasa ini, pengaruh sang wali
dalam sejarah Islami, luar biasa. Kepribadiannya gemerlapan, laksana zamrud
berkilauan dari spiritualitas Islami dewasa ini, sebagaimana pada sejarah masa
lalu.
Referensi
: Syeikh Abdul Qadir Jailani, Futuh
Al-Ghayb, penerjemah Syamsu Basarudin dan Ilyas Hasan. Bandung : Mizan,
1995
No comments:
Post a Comment