BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setelah dua madzhab terpenting yakni rasionalisme (Rene Descartes) dan
empirisisme (Bacon) sudah didiskusikan pada sesi diskusi sebelumnya, di satu
sisi, rasionalisme mendewakan akal sebagai sumber pengetahuan, di sisi yang
lain empirisisme membuktikan akal yang tidak berdaya di depan pengalaman.
Pertentangan dari dua aliran tersebut mempengaruhi pemikiran pada saat itu.
Di tengah-tengah pertarungan antara ideologi rasionalisme dan empirisisme,
Kant hadir sebagai wasith yang
menggabungkan kedua aliran tersebut. Inilah yang kemudian disebut sebagai zaman
kritisisme, sebuah teori pengetahuan yang mengetengahkan antara akal dan
pengalaman.
Upaya menyintesiskan
kedua sumber pengetahuan tersebut menjadi paradigma episteme yang baru
merupakan prior research-nya Kant.
Dari upaya pemaduan ini, Kant memberikan argumentasi-argumentasi logisnya untuk
membuktikan penemuannya itu. Bagi Kant, baik rasionalisme maupun Empirisme
belum berhasil membimbing kita untuk memperoleh pengetahuan yang pasti, berlaku
umum, dan terbukti dengan jelas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Metodologi dan Verifikasi
2.
Bagaimana
Metodologi dan Verifikasi Pengetahuan Kant.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Metodologi dan Verifikasi
Metodologi
berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan ""logos, kata ini terdiri
dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos”
yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk
mencapai tujuan. logos artinya ilmu.
Metodologi adalah sebuah ilmu
atau cara yang digunakan untuk memperoleh suatu kebenaran menggunakan sistem
penelurusan dengan cara – cara tertentu untuk menemukan kebenaran yang
tergantung dari sebuah kajian yang realitas.
Prof.Dr. Ermaya Suradinata, Msi, metodologi
adalah mekanisme secara terpadu yang dilakukan melalui prosedur dengan
cara-cara yang telah disepakati secara umum melalui pikir nalar.
Verifikasiberasal
dari bahasa latin yakni verificare-dari verus yang berarti benar atau facere
membuat sedangkan dalam bahasa inggris disebut verification.
Verifikasi adalah
teori filsafat positif logis dalam memilih yang menyatakan bahwa pengalaman
adalah satu-satunya sumber dasar pengetahuan dan dalam analisis logis dapat
dilakukan dengan bantuan simbol-simbol logika dengan menggunakan metode untuk
pemecahkan masalah melalui metode verifikasi
empirik
yaitu bila terdapat sesuatu yang tidak dapat diverifikasi secara empirik maka
hasilnya adalah sia-sia. penganut teori radikal ini memiliki masalah
konsekuensi untuk filosofi tradisional, karena, jika benar, akan menyebabkan
banyak pekerjaan sia-sia pada filosofis masa lalu, antara lain pada
metafisika
dan
etika.
B.
Sekilas
tentang Imanuel Kant
Kant lahir di kota kecil bernama
KÅ‘nigsberg (sekarang disebut Kaliningrad, Rusia), Prussia Timur, Jerman, pada
tanggal 22 April 1724. Keluarganya sangat religius, tetapi Kant tidak pernah
menjadi pejabat di sebuah gereja.[4]
Proses Pendidikan yang dilalui Kant
tidak pernah keluar dari tanah airnya. Bisa dikatakan, ia merupakan produk
dalam negeri yang mampu mendunia. Di Collegium Fridericianum,
sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme, Kant memulai pendidikan formalnya
pada usia delapan tahun. Di sekolah tersebut ia dididik dengan disiplin sekolah
yang keras. Sebagai seorang anak, Kant diajar untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya,
suatu sikap yang kelak amat dijunjung tinggi sepanjang hidupnya. Di sekolah ini
pula Kant mendalami bahasa latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan
terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk mengungkapkan pemikiran mereka.[5]
Pada tahun 1740, di mana ia telah berumur 16 tahun,
Kant belajar di Universitas KÅ‘nigsberg. Di Universitas itulah ia berkenalan
baik dengan Maartin Knutzen (1713-1751), dosen yang mempunyai pengaruh besar
terhadap Kant. Knutzen adalah seorang murid dari Christian von Wolff
(1679-1754), dan seorang profesor logika dan metafisika. Sepeninggal ayahnya
yang tanpa mewariskan harta banyak, selama 9 tahun (1746-1755) ia bekerja
sebagai tutor pribadi kaum bangsawan di kota Konigsberg. Pada tahun 1755,
di universitas tempat ia belajar, Kant memperoleh gelar Doktor dengan disertasi
berjudul: Meditationum Quarundum de Igne Succinta Delineatino (Penggambaran
Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api), sebuah karya yang juga di bidang
ilmu alam. Pada tahun dan di tempat itu pula ia diangkat menjadi dosen. Lima
belas tahun kemudian (1770) ia dipromosikan menjadi Profesor pada bidang logika
dan metafisika.
C.
Metamorfosa Pemikiran Kant
Menurut
Joko Siswanto, sebagaimana yang dikutip oleh Alim Roswantoro, pemikiran Kant
terbagi menjadi empat periode. Pertama, ketika ia masih berada
di bawah bayang-bayang Leibniz-Wolf sampai tahun 1760. Periode pertama biasa
disebut dengan periode rasionalistik.
Kedua, berlangsung
antara tahun 1760 sampai tahun 1770, yang ditandai dengan semangat skeptisisme,
yang dikenal dengan periode empiristik, karena dominasi pemikiran empirisme
Hume. Karya yang muncul adalah Dream of Spirit Seer.
Ketiga,
dimulai dari tahun 1770, yang dikenal dengan periode kritis. Karya yang muncul
di antaranya adalah Kritik der reinen Vernutft (the
Critique of Pure Reason) pada tahun 1781, yang kemudian direvisi pada tahun
1787:Prolegomena to Any Future Metaphysics (1785):Metaphysiical
Foundation of Rational Science (1786):Critique of Practical Reason (1788),dan Critique ofJudgment.
Keempat, berlangsung
antara tahun 1790 sampai akhir hayatnya, 1804. Pada periode ini, perhatian Kant
lebih pada persoalan-persoalan agama dan sosial. Karya yang terpenting
adalah Religion Within the Boundaries of Pure Reason (1793); Religion
Within Limits of Pure Reason (1794); dan sekumpulan essai yang
berjudul Eternal Peace (1795).
Dari
empat periode tersebut dapat dipahami bahwa Gottfried Leibniz (1646-1716) dan
David Hume (1711-1776) adalah di antara banyak filsuf yang mempunyai pengaruh
besar terhadap pemikiran Kant, terutama dalam konstruksi epistemologinya.
Pendidikan filsafat Kant terutama adalah Leibnizian. Pandangan awal Leibniz
berputar di sekitar pandangan bahwa pengalaman dan realitas itu sesuai dengan
prinsip yang fundamental, dengan asumsi demikian maka pikiran manusia dapat
mengetahui dengan pasti struktur dasar semua realitas. Kant tidak menginggalkan
warisan Leibniz sepenuhnya.
Namun, kedatangan Hume mengacaukan pandangan
Leibniz tersebut. Menurut Hume, intelektual manusia tidak memiliki kekuatan
yang cukup untuk menunjukkan bahwa semua prinsip-prinsip dasarnya memiliki
landasan yang memadai. Kapasitas rasional kita membantu untuk maju secara
praktis, tetapi finalitas, keabsahan, dan kesempurnaan pengetahuan melepaskan
diri dari kemampuan tersebut.
Dari
ketidaksesuaian dasar di antara filsafat Leibniz dan Hume tentang keabsahan
pengetahuan, apakah diperoleh secara rasio atau empirik, bisa dipastikan atau
tidak. Maka Kant datang dengan pandangan baru yang sangat kuat pengaruhnya bagi
generasi selanjutnya. Ia menganggap Hume terlalu merendahkan filsafat Leibniz,
namun dengan begitu bukan berarti ia menerima semua kesimpulan Hume. Meminjam
istilah Alim, Kant merupakan kritikus sekaligus pemandu dua aliran yang
menghegemoni dalam belantara filsafat. Dus, dalam uraian-uraian selanjutnya
tidak akan lepas dari pengaruh konsep-konsep yang ditelurkan oleh Leibniz dan
Hume.
D.
Kritisisme Emmanuel Kant
Setelah mengetahui peran dan penilaian Kant terhadap aliran rasionalisme
dan empirisisme, maka tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa Kant telah
menciptakan madzhab baru dalam filsafat, yakni madzhabkritisisme. Ketelitian Kant di dalam mengkritisi dua aliran sebelumnya
membuktikan bahwa Kant telah mengubah wajah
paradigma filsafat secara radikal.
Ia memulainya dengan memusatkan atas manusia sebagai subjek berpikir.
Implikasinya, ia tidak mengawali penilaian atas benda-benda sebagai objek,
melainkan mengawalinya dengan investigasi atas struktur-struktur subjek yang
memungkinkan untuk menilai benda-benda sebagai objeknya. Sebab, diakui atau pun
tidak, pengetahuan lahir karena adanya aktifitas indra dan akal untuk menilai
gejala-gejala yang disebabkan pertemuan dengan objek.
Dengan demikian, penting sekiranya untuk mendiskusikan teori pengetahuan
Kant, metode perolehannya, sekaligus proses verifikasi pengetahuan.
E.
Metodologi dan
Verifikasi Pengetahuan Kant
Menurut Kant, sebagaimana dikutip Nuchelsmans, pengetahuan merupakan hasil
akhir dari adanya kerjasama dua komponen, yaitu di satu pihak berupa
bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi (baca: sensibility), dan
di lain pihak cara mengolah kesan-kesan yang bersangkutan sedemikian rupa
(baca: understanding) sehingga
terdapat suatu hubungan antara sebab dan akibatnya.[7]
Persepsi merupakan pengetahuan awal yang diperoleh indera (sensibility),
baik itu diperoleh dalam dunia faktual, maupun hanya sebatas fantasi atau
angan-angan yang secara sadar tidakpernah dialami
oleh subjek. Term persepsi di sini tidak ada proses pemaknaan suatu objek, jadi
sebuah objek berdiri sendiri tanpa intervensi subjek. Ringkasnya, saat kita
membuka mata, telinga, dan menggunakan indera kita, maka di situlah letak
dimulainya pengetahuan.
Sedangkan pemahaman (understanding) merupakan awal dari sebuah
pengertian, karena konseptualisasi secara tentatif dan hipotesis menggolongkan
dan menghubungkan apa yang dialami secara inderawi sebagai sesuatu dengan
sebutan tertentu, dengan bahasa lain konsepsi adalah murni dan tidak empiris
yang dihasilkan dengan pemikiran dan pemahaman. Dus, konsepsi perlu
diverifikasi atau diuji kebenarannya. Selanjutnya, jika tersedia bukti atau
alasan yang memadai untuk menjamin penegasan bahwa memang demikian, maka proses
mengetahui mencapai tujuan akhirnya, yakni membuat klaim kebenaran (truth
claim). Dalam pengertian ini, klaim kebenaran disebut dengan judgment. Singkatnya,
konseptualisasi dilakukan dalam rangka membuat suatu penilaian (judgment).
Menurut Kant, beberapa penilaian (judgment) setidaknya ada tiga kategori. Yakni analitik a
priori, sintetik a posteriori, dan sintetik a priori.Selanjutnya
kita teliti tentang kedua kategori yang
ditelurkan oleh Kant tersebut.Pertama, penilaian
analitik a priori artinya sebuah penilaian yang bersifat universal,
pasti, dan kebenarannya tidak bergantung pada pembuktian empiris, karena
predikat telah terkandung setidak-tidaknya di dalam subjek penilaian. Misalnya
di dalam klaim bahwa semua segitiga memiliki tiga sudut. Penilaian semacam ini
tidak lagi membutuhkan pembuktian empirik dengan menghadirkan sebuah segitiga
untuk membuktikan kebenarannya memiliki tiga sudut.
Kedua, sintetik a posteriori, yang artinya subjek
tidak memiliki predikat, dan status kebenaran itu bergantung pada pembuktian
empirik. Misalnya ungkapan “banyak mawar berwarna merah.” Ungkapan demikian
tidak bersifat universal, tidak pula berdasarkan makna yang dilihat dari
batasan-batasannya. Secara faktual, banyak juga mawar yang berwarna putih,
misalnya. Artinya ungkapan tersebut tetap mempunyai kontradiksi dengan ungkapan
fakta yang lain. Oleh karena itu, secara kuantitas, inilah yang disebut sebagai
penilaian partikular.
Ketiga, penilaian
sintetik a priori, yakni predikat penilaian tidak terkandung di dalam
subjeknya, namun kebenaran itu bersifat pasti, universal, dan tidak bergantung
pada pembuktian empiris. Misalnya segala kejadian mempunyai sebabnya. Putusan
model demikian berlaku umum dan mutlak (a priori) dan bersifat sintetis a
posteriori, karena dalam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya
tersirat pengertian “sebab”. Maka dalam putusan ini, baik akal maupun
pengalaman inderawi dibutuhkan serentak. Menurut Kant, sebagaimana dilansir
Muslih, jenis putusan ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut
pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi
pengetahuan baru.[8]
Singkatnya, hukum kausalitas sebagai contoh penilaian sintetik a priori
merupakan suatu prinsip regulatif sebagai peraturan universal bagi seluruh penyelidikan
rasional. Semua prinsip jenis ini adalah a priori sekaligus sintetis.
Dengan demikian prinsip-prinsip itu jelas universal dan niscaya. Dus,
validitasnya tidak bergantung pada konfirmasi pengalaman. Sebaliknya,
validitasnya sudah diandaikan oleh semua keputusan yang hendak memberi kita
pengalaman tentang sebuah fenomena.[9]Walhasil,
persoalan fundamental filsafat kritik Kant adalah, “Bagaimana putusan-putusan
sintetis a priori dimungkinkan?. Selanjutnya akan kita diskusikan
bagaimana upaya metodologis Kant untuk bisa memproleh pengetahuan sintetik a
priori.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa pengetahuan sintetik a priori
merupakan sebuah keniscayaan. Maka Kant membuat semacam pembedaan-pembedaan dan
faktor-faktor yang harus dipahami untuk merealisasikan pengetahuan sintetik a
priori, yaitu dengan membedakan antara realitas fenomenal dan
realitas noumenal.
Realitas fenomenal adalah realitas seperti yang tampak pada kita, sedangkan
realitas noumenal adalah realitas yang terlepas dari bentuk dan susunan (order)
yang kita perkenalkan.
Pembagian realitas seperti demikian menunjukkan bahwa, pengetahuan manusia
yang memiliki dasar cukup akan dibatasi pada wilayah fenomena sekaligus
syarat-syarat yang harus diperlukan untuk menjelaskan pengalaman kita di
dalamnya. Sesuatu yang riil dan independen, yang muncul pada pikiran,
tidak akan pernah menciptakan sebuah dunia dari dirinya sendiri, melainkan
hanya menyusun dan membentuk apa yang kita temui pada realitas fenomenal,
dengan maksud untuk membentuk sebuah dunia pengalaman.
Untuk membedakan pengetahuan lewat realitas noumenal
dan fenomenal, Kant memberikan penjelasan yang ketat. Pertama-tama adalah
realitas fenomenal, pada dasarnya semua bentuk persepsi kehidupan manusia
selalu terbatasi oleh ruang dan waktu, tidak ada objek yang bisa kita tangkap
tanpa adanya konsep ruang dan waktu, sebab memang tidak ada objek –secara kasat
mata– yang terlepas dari ruang dan waktu itu sendiri. Lebih dari itu, semua
persepsi kita –entah itu berasal dari perasaan, pengandaian, dan pikiran kita
sendiri– akan selalu mengikuti satu sama lain secara temporal. Jadi, ruang dan
waktu bukan semata-mata konsep yang kita temukan secara empirik, melainkan
sudah membentuk dan mengkonstitusikan segala sesuatu yang muncul dari pengalaman
perseptual kita.
Kant mengatakan, sebagaimana dikutip oleh John K. Roth “Meskipun semua
pengetahuan kita dimulai dari pengalaman, tidaklah berarti bahwa semua pengetahuan
muncul dari pengalaman.
Dimulai artinya proses sensibilitas inderawi, sedangkan muncul artinya proses
pemahaman. Dengan demikian menjadi kesimpulan bahwa meskipun pengetahuan
memiliki akarnya pada pengalaman perseptual, namun pengetahuan juga memerlukan
aplikasi pemahaman atau akal manusia ke dalam isi inderawi. Kesimpulannya, pengalaman
dan pemahaman kita tentang sesuatu akan tertabatasi pada realitas secara
fenomenal.
Bagaimana tentang realitas noumena?. Sebagaimana sudah kita senggol di atas
bahwa noumena merupakan realitas yang di luar bentuk dan susunan dari yang kita
alami secara empirik. jadi, wilayah ini adalah transendental bagi pengetahuan
manusia. Menurut Alim ketika memahami Kant, pengetahuan noumena tidaklah
mugkin, karena noumena adalah objek di luar fenomenal yang terlepas dari ruang
dan waktu. Ia juga menyimpulkan bahwa konsep noumena dipakai oleh Kant
semata-mata sebagai “lampu merah” peringatan ketidakmungkinan untuk
mengetahuinya, namun penjelasan konsep noumena ini juga tidak bisa dihindarkan
sebagai suatu penggunaan transendental yang berarti bahwa walaupun kita tidak
bisa menjangkaunya, namun noumena sendiri menjadi dasar bagi semua pengalaman
yang mungkin.
Selanjutnya, realitas noumena ini pun dibagi menjadi dua, yakni noumena
positif dan noumena negatif. Misalnya ketika berbicara masalah “keadilan”, maka
keyakinan yang pasti akan adanya keadilan secara sempurna dalam dunia fenomenal
adalah omong kosong (ketidakmungkinan ini adalah noumena positif), namun
karakter-karakter keadilan yang menggejala dan yang bisa ditangkap oleh ruang
dan waktu, inilah yang disebut noumena negatif.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari penjelasan yang singkat dan global di atas, menurut penulis ada
beberapa kesimpulan yang menjadi kewajiban untuk ditulis di sini. Pertama,
di dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan keabsahannya, tidak ada pemisahan
antara proses mengindera (sensibility) dan memahami (understanding).
Sebab tanpa indera, seseorang tak bisa memahami sesuatu, sebaliknya tanpa
pemahaman seseorang akan menerima begitu saja tentang apa yang ia indera.
Kedua, di dalam diri subjek –termasuk indera dan akal– selalu terkondisikan oleh
ruang dan waktu, begitu pula objek yang diindera oleh subjek pastilah sesuatu
yang terkondisikan oleh ruang dan waktu. Nah, lewat pemahaman Kant yang
demikian memberikan kita pembedaan “mana yang bisa dipikirkan, mana yang tidak
bisa dipikirkan.” Singkatnya, sesuatu yang tidak terkondisikan oleh ruang dan
waktu, tidak bisa untuk dijadikan sebagai pengetahuan. Di sinilah porsi
keimanan tentang sesuatu yang transendent mempunyai ruang tersendiri –yang
lagi-lagi subjektif.
Ketiga, melalui pemahaman tentang objek yang terkondisikan
(fenomenal), dan objek yang tak terkondisikan (noumena), mengingatkan kembali
atas konsep-konsep di dalam teks Islam –yang mungkin dipahami secara parsial
oleh “sebagian” orang. Oleh sebab itu, pemahaman yang demikian diperlukan untuk
mendapatkan konsep-konsep universal yang mengakomodir kepentingan semua pihak,
tidak partikular yang hanya mementingkan salah satu kelompok atau menyerang
salah satu kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
D. Aiken, Henry, Abad Ideologi: Kant, Fichte,
Hegel, Schopenhauer, Comte, Mill, Marx, Mach, Nietzsche, Kiergaard,
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2009
G. Nuchelsmans, Filsafat
Pengetahuan Dalam Berfikir Secara
Kefilsafatan, Alih Bahasa: Sujono Sumargono, Yogyakarta: Nur
Cahaya, 1984
Hadi,
Amirul dan Haryono, Metodologi Penelitian
Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia,1998.
Hardiman, F.Budi, Pemikiran-Pemikiran
yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machievelli sampai Nietzche) Jakarta :
Penerbit Erlangga, 2011
K. Roth, John, Persoalan - Persoalan Filsafat Agama,
terjemahan Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Muslih, Mohamad, Filsafat Ilmu : Kajian atas
Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar,
2008
Wikipedia Ensiklopedia Bebas
John K. Roth, Persoalan- Persoalan
Filsafat Agama, terjemahan Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, h. 229
Mohamad Muslih, Filsafat
Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar,
2008, h. 69
G. Nuchelsmans, Filsafat Pengetahuan Dalam Berfikir
Secara Kefilsafatan, Editor dan Alih Bahasa: Sujono Sumargono, Yogyakarta:
Nur Cahaya, 1984, h. 109-110.
Mohamad Muslih, Filsafat Ilmu
: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar,
2008, h. 74
Henry D. Aiken, Abad Ideologi:
Kant, Fichte, Hegel, Schopenhauer, Comte, Mill, Marx, Mach, Nietzsche,
Kiergaard, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2009, h. 37-38